WAJAH
SANTUN SANG RASUL
Oleh :
AHMAD
FAOZAN, S.Ag
Guru PAI
dpk pada SDN Kebulen III Jatibarang Indramayu
Diposkan oleh Majalah Media Pembinaan Kantor
Wilayah Departemen Agama Provinsi Jawa Barat, Februari 2010
“Dan
sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung”
(QS. 68 : 4)
“Akhlaknya
adalah al-Quran” (Aisyah, Ummahatul
Mu minin)
Saat Rasulullah
pertama kali merintis jalan Islam, beliau masih sendiri, hanya Ali bin Abi
Talib, sepupunya, yang menemani. Kala itu, Rasul sedang berunding dengan Ali
untuk mengadakan jamuan. Ada persoalan penting yang hendak dibicarakan.
Undangan ditujukan untuk keluarga besar Abdul Mutalib. Ali diminta menjadi
panitia pelaksana.
“Wahai Ali,
tolong masakkan sup kambing. Buat sekalian roti gandum. Selepas itu tolong
jemput semua ahli keluarga Abdul Muttolib” Pinta Rasul kepada Ali.
Tak berapa
lama, Ali menjalankan tugasnya. Ali mengkoordinasi para pembantu membuat
makanan. Ia sendiri kemudian keluar menyebarkan undangan jamuan.
Tak berapa lama
para tamu mulai berdatangan ke rumah Rasul. Mereka disambut dengan hangat dan
mesra. Tegur sapa dan obrolan ringan seperlunya menambah meriah suasana.
Setelah semua
tamu tiba, Rasul pun menghidangkan makanan. Tak kurang dari 30 orang yang
datang. Mereka adalah anak keturunan Abdul Muttolib. Rasulullah sendiri bila
ditelusuri nasabnya termasuk cucu Abdul Mutollib, Kakek bijaksana penjaga
Ka’bah itu.
Roti dan sup
kambing menjadi menu istimewa. Para tamu makan sepuas-puasnya hingga kenyang.
Senyum dan keriangan tampak pada wajah mereka. Rasul melayani mereka dengan
baik, menghidangkan dan menuangkan gelas-gelas
mereka dengan air susu.
Usai acara
makan-makan, Rasul pun mengutarakan maksud undangannya. Beliau angkat bicara:
“Wahai ahli
keluarga Abdul Mutolib, sebenarnya saya ini diutus oleh Allah untuk mengajak
saudara-saudara secara khusus dan umumnya bagi semua manusia, supaya percaya
pada Allah. Saudara sekalian pun sudah melihat tanda-tanda kenabian pada diri
saya. Oleh sebab itu siapakah di kalangan saudara yang hendak bersumpah setia,
menjadi saudara dan sahabat saya?”
Sebagian besar
tamu tercengang dengan perkataan Rasulullah.
“Wahai
Muhammad, harapanmu terlalu besar dan berat. Tak ada yang mampu melakukannya”. Sahut
salah seorang kerabat Rasul.
“Betul wahai
Muhammad”. Balas yang lain.
Lalu Ali pun
bangkit. Dia adalah keluarga Abdul Muttolib yang paling muda di majelis itu.
“Saya
bersumpah menjadi saudara dan sahabat tuan, wahai utusan Allah”, kata Ali.
“Saudara
duduk dulu”. kata Rasul kepada Ali sambil melambaikan tangannya.
Rasul mengajak
lagi seluruh keluarga yang hadir. Beliau mengajak mereka menganut Islam.
“Siapakah di
antara kalian yang hendak bersumpah setia, menjadi saudara dan sahabat saya?”. tanya
Rasul lagi.
Ali pun bangun
kembali. “Saudara duduk dahulu”. Kata Rasul kepada Ali.
“Siapakah di
kalangan saudara yang hendak bersumpah setia, menjadi saudara dan sahabat
saya?. Kali ketiga Rasul bertanya. Dan tetap saja, hanya Ali yang bangun.
Lalu Nabi
Muhammad menjabat tangan Ali. Ali pun mengucapkan janji setianya kepada nabi
Muhammad.
Perjamuan
akhirnya usai. Para tamu dipersilakan pulang oleh Nabi tetap dengan ramah
walaupun mereka menolak seruan nabi.
Cara seperti
ini terus dilakukan Rasulullah hingga hijrah ke Madinah. Baru di kota inilah
Islam disambut dengan suka cita oleh penduduknya. Lambat laun Islam berkembang
bahkan menjadi mayoritas di Madinah.
Dengan kondisi
yang tidak lagi minoritas, ternyata Rasulullah tetap dalam jalur yang sama.
Beliau mengajarkan Islam penuh dengan kehangatan, kasih sayang dan sikap
toleransi terhadap pemeluk agama lain. Beliau tetap santun dalam berdakwah,
tanpa paksaan apalagi ancaman. Tetap hidup berdampingan walaupun berbeda
keyakinan.
Dengan kondisi
yang hampir sama dengan kota Madinah pada masa Nabi, penduduk negeri kita
terdiri dari berbagai macam keyakinan. Tapi di sini kita sering mendengar
orang-orang yang mengaku muslim menyematkan cap “kafir”, murtad atau sesat pada
orang-orang yang dianggap berbeda
keyakinan atau aliran, bahkan terhadap saudara-saudaranya yang seiman. Mereka
juga melakukan perusakan dan pembakaran tempat-tempat ibadah. Termasuk memaksa
agar mengikuti keyakinan yang mereka anggap paling benar.
Minoritas
keturunan Tionghoa, jemaat aliran Islam atau suku-suku di pedalaman negeri ini
yang memiliki keyakinan atau agama yang tidak termasuk agama atau aliran
kepercayaan yang diakui negara, adalah contoh yang sering menjadi korban.
Padahal
Al-Quran yang dibawa sang Nabi mengajarkan bahwa
“Wallahu a’lamu
biman dholla an sabilih”
Allah-lah yang lebih mengetahui mana orang
yang telah tersesat dari jalan-Nya.
Di ayat lain,
Al-Quran juga menegaskan:
Yudillu bihi
man yasyaa wa yahdii bihi man yasya”
Dialah Allah
yang menyesatkan orang yang Ia kehendaki dan memberi petunjuk orang yang Ia
kehendaki (pula).
Maka wajar,
ketika meyakini bahwa hanya Tuhan yang dapat meluruskan dan menyesatkan,
manusia berdoa: Ihdinassirotol mustaqim” Tunjukkanlah kami jalan yang
lurus. Kita semua akrab dengan doa ini. Sehari semalam paling tidak kita
mengucapkannya 17 kali. Rasanya kita hanya terus mencari jalan dan berharap
bersungguh-sungguh bahwa jalan yang kita tempuh adalah jalan yang menuntun kita
ke jalan mustaqim. Kita memang tak tahu, tapi kita terus berharap.
Islam yang dibawa
nabi adalah Islam yang damai dan menebarkan kasih terhadap sesama. Pembawanya
pun, Nabi Muhammad, berwajah santun dan ramah. Rasulullah tak pernah dikenal
sebagai lelaki pemarah atau mengajarkan kekerasan. Banyak yang mencoba
mengejek, menyakiti, dan melukai, tapi Rasulullah menanggapinya tidak dengan
kemarahan. Bahkan beliau kadang membalasnya dengan kasih berlebih.
Suatu ketika,
Si Badui berbuat kasar kepada nabi. Kala itu Rasulullah sedang berjalan bersama
Anas bin Malik, pembantunya yang kemudian banyak meriwayatkan hadis. Tiba-tiba
Si Arab Badui menarik selendang Najran yang dikalungkan di leher Rasul. Begitu
kerasnya tarikan si Badui, Rasul pun tercekik. Anas, seperti tercatat dalam
Shahih Bukhari, sempat melihat bekas guratan di leher Rasul. “Hai, Muhammad,
beri aku sebagian harta yang kau miliki!”. bentak si Badui, masih dengan
posisi selendang mencekik leher rasul.
Barangkali bila
dalam posisi Rasul akibat perilaku si Badui yang mirip preman ini, kita pasti
akan naik pitam. Tapi tidak dengan Rasul. Beliau justru tersenyum dan berkata
pada Anas, “Berikanlah sesuatu kepadanya!”.
Di kala lain,
beliau bahkan mendapat lebih kejam dari itu. Saat sedang sujud dalam salatnya,
Nabi pernah “dihadiahi” kotoran hewan pada punggungnya. Abdullah bin Mas’ud
menjadi saksi, seperti terrekam dalam Shahih Bukhari. Ibnu Mas’ud melihat Nabi
tengah sembahyang dekat ka’bah. Pada saat yang sama Abu Jahal dan gerombolannya
duduk-duduk tak jauh dari situ.
“Siapa yang
mau membawa kotoran-kotoran kambing yang disembelih kemarin untuk ditaruh di
atas punggung Muhammad, begitu ia
sujud?” Abu Jahal berseru pada punakawannya. Satu dari mereka, yang tak
lain Utbah bin Rabi’ah, Syaibah bin Rabi’ah, Al-Walid bin Utbah, Umayyah bin
Khalaf dan Uqbah bin Abi Mu’ith, itu bergegas mengambil kotoran. Mereka
menunggu hingga nabi sujud.
Dan benar,
ketika Nabi sujud, ditaruhlah kotoran itu di antara bahu Nabi. Abu Jahal,
Punggawa Quraisy yang selalu berupaya menghancurkan nabi, dan gerombolannya
menyaksikan dengan tertawa keras. Nabi tetap dalam sujud hingga Fatimah
Az-Zahra membersihkan sembari meneteskan air mata. Tapi Nabi bukan sosok
pemarah atau pendendam. Beliau tidak pernah memerintahkan sahabat untuk
membalas perlakuan Abu Jahal dan gerombolannya. Nabi hanya berdoa, “Allahumma
alaika bi Quraisy, alaika bi quraisy, alaika bi quraisy”.
Terlalu
mulialah Nabi saw untuk sekedar dihinggapi kesumat. Al-Quran menyebut Nabi
sosok yang rauf dan rahim, sosok welas asih dan penyayang (QS.
9 : 128). Nabi pun seolah tak mampu untuk sekedar membekap rasa
sayangnya pada tetangga yang rutin menghina dan melecehkannya itu, seorang
perempuan tua. Setiap kali lewat di samping rumah perempuan tua itu, nabi
selalu mendapat sambutan, kadang sampah busuk, kadang pecahan beling. Begitu
selalu, berhari-hari.
Suatu hari,
“sambutan” perempuan tua absen. Nabi bertanya-tanya, kenapa perempuan yang
biasa memberinya “sambutan rutin” itu berhenti. Dari tetangga si perempuan itu,
Nabi mendapat kabar bahwa si perempuan itu sedang sakit. Nabi masuk ke rumah
perempuan tua itu. Untuk membalasnya? atau sekedar kata pedas untuk bikin jera?
ah, ternyata tidak. Nabi justru memperlakukan perempuan itu seperti sahabat,
melayani bahkan memasakkan air untuknya.
Karenanya,
masih pantas mengaku muslimkah kita bila kita menampakkan wajah garang dengan
mengacungkan kayu, pedang dan batu seraya berteriak menyebut nama Tuhan dan
Rasul bersamaan dengan merobohkan bangunan-bangunan tempat ibadah orang-orang
yang dianggap berbeda dengan kita? masih pantas mengaku pengikut Rasulkah kita
ketika menganggap telah berjihad setelah melakukan tindak kekerasan pengeboman?
Wajah welas
asih dan santun Rasul telah coreng moreng akibat perlakuan kita. Ah….. nabi
yang pemarah hanya ada di benak mereka. Wajahnya yang sangar hanya selintas
gambaran bagi mereka. Tapi……. Oh…. Bukankah kita? Sadarkah kita, ternyata tanpa
sengaja (?) diam-diam kita telah, sedang dan masih berniat menoreh raut
Rasulullah dengan sketsa wajah garang dalam karikatur Jyllands Postan
itu? Astaghfirullah……
Marilah kita
jadikan momentum Maulid Nabi sebagai awal kita melanjutkan hidup dengan penuh
kedamaian, sikap santun dan welas asih, hingga Islam menjadi rahmat bagi
semesta sebagaimana Rasul mengajarkan. Wa Llahu a’lam (dari berbagai
sumber)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar