REFLEKSI
HIKMAH ISRA MI’RAJ
Perspektif
Sufistik
Oleh
: Ahmad Faozan, S.Ag
(Guru
PAI pada SDN Kebulen III Jatibarang Indramayu)
Diposkan oleh Majalah Media Pembinaan Kantor
Wilayah Departemen Agama Provinsi Jawa Barat, Juli 2008
Zaman sekarang, disamping ditandai dengan derasnya arus informasi dan
dahsyatnya perkembangan teknologi, ternyata juga diwarnai arus baru di tengah
masyarakat dunia, yakni kerinduan pada kesejukan batin dan kedamaian jiwa.
Beberapa dekade terakhir ini kita menyaksikan adanya kebutuhan baru yang
besar akan spiritualitas, baik di dunia secara umum maupun umat Islam. Bahkan
kebutuhan ini lebih dulu muncul di negara-negara maju dibanding negara-negara
berkembang. Di Amerika Serikat, misalnya,
sudah terasa kuat sejak tahun 1960-an dengan maraknya budaya hippies
yang memberontak terhadap nilai-nilai kemapanan. Mereka mencari-cari alternatif
baru. Ada yang
positif, misalnya ketika mereka pergi ke India untuk mempelajari yoga dan
Hinduisme. Tapi tidak sedikit pula yang tampak negatif dengan munculnya beragam
bentuk kultus (cult).
Di Indonesia kecenderungan itu mulai
tampak sekitar tahun 1980an. Ada
semacam kegairahan beragama di hampir semua kalangan mulai orang-orang awam
hingga terpelajar dan elit muslim. Laris manisnya buku-buku keagamaan,
munculnya kajian-kajian tasawuf, ketertarikan pada tarekat-tarekat hingga
fenomena suksesnya berbagai kegiatan zikir.
Di antara alasan yang mendorong
munculnya kebutuhan akan spiritualitas adalah berantakannya sistem nilai dunia
modern, rasa tak aman menghadapi masa depan dan kerinduan pada visi dunia
spiritual dalam lingkungan yang semakin merosot kualitasnya. Kegandrungan ini
sekaligus mencerminkan kegagalan modernisasi dan formalisme agama-agama mapan.
Pertanyaannya kemudian bentuk
spiritualitas seperti apa yang mereka perlukan? Kenyataan menunjukkan bahwa
ketertarikan terhadap tasawuf –bentuk spiritualisme Islam- makin lama makin besar. Hanya saja tasawuf
yang mana?
Tasawuf sering dituduh sebagai penyebab kemunduran umat Islam selama
lebih dari lima
abad karena dianggap menjauhi atau mengabaikan kehidupan duniawi. Hidup miskin
tak mempunyai apa-apa dan sederhana, tetapi memiliki hati yang baik dan mulia adalah
sifat-sifat ideal yang terpuji yang dianggap milik para sufi. Contoh hidup
seperti ini adalah hidup ahlussufah yakni orang-orang yang hijrah
bersama Nabi SAW dari Mekkah ke Madinah yang –karena kehilangan harta- mereka
menjadi miskin dan papa. Mereka tinggal di teras masjid Nabi dan tidur di atas
bangku batu dengan memakai pelahna (shuffah).
Kesan bahwa tasawuf mengabaikan
kehidupan duniawi juga dikuatkan oleh ajaran tentang zuhud, suatu sikap
biarawan atau rahib-rahib yang menyangkal kehidupan dunia dengan harapan bisa
menyucikan diri dan kemudian bisa bertemu dengan Tuhan. Konsep zuhud yang
diidentikkan dengan asketitisme ini pada gilirannya melahirkan konsep baru
yakni faqr (kefakiran). Untuk bisa mendekat kepada Allah dan bertemu
dengan-Nya seseorang haruslah menjadi orang fakir. Lebih lebih lagi bila menyebabkan seseorang bersikap
fatalis dan menjauh dari realitas sosial. Menjadi zahid akhirnya bak hidup di
atas menara gading yang lebih mementingkan kesucian diri tanpa peduli terhadap
lingkungan.
Zuhud seharusnya dimaknai bukan
dengan menolak kehidupan duniawi dan segala kesenangannya. Anjuran berzuhud
sebenarnya dilatarbelakangi oleh keyakinan bahwa manusia cenderung terlalu menikmati
hal-hal material duniawi (yang mubah) sehingga akhirnya terjerumus pada sikap
berlebihan.
Islam tidak pernah menghadapkan aspek badani-duniawi dengan aspek
ruhani-ukhrawi. Bahkan dunia –bila diperlakukan dengan benar- adalah jembatan
bagi kita untuk mendapat kebahagiaan akhirat. Rasulullah saw pun menyatakan
dengan kalimat yang lugas “ad dunya mazra’atul akhirah” dunia adalah mazra’ah
(ladang) untuk akhirat.
Bila kita mengambil ‘ibrah dari isra
mi’raj, peristiwa ini dalam kehidupan ruhani Muhammad SAW memiliki arti yang
sangat tinggi dan agung. Jiwa yang kuat ini dipersatukan oleh kesatuan wujud
pada puncak kesempurnaannya. Tak ada tabir ruang dan waktu atau apapun yang
dapat merintangi sang Nabi. Al-Quran menyebutkan jaraknya dua busur panah atau lebih
dekat lagi (QS. An-Najm (53) : 8-9) dari haribaan Tuhan. Ia mendapat pengalaman puncak bertemu “muka”
dengan Allah –pengalaman “menyatu” dengan Allah yang merupakan ideal bagi kaum
sufi- dalam peristiwa gaib itu.
Tapi Muhammad, sang Sufi Teragung, “memilih”
untuk kembali ke dunia dan mengimplementasikan “persatuannya” dengan Allah itu
dalam bentuk kekuatan revolusioner untuk memberdayakan rakyatnya (baca:
sahabat) dan mengembalikan hak-hak mereka yang terampas. Muhammad juga
melakukan pekerjaan profan yang dapat dilakukan; mengurus administrasi
pemerintahan, mengembangkan ekonomi dan pemerataanya mendorong sahabatnya untuk
belajar, bahkan berperang jika agresi berada di depan mata.
Sejatinya demikianlah sufi. Ia
adalah seorang reformer sejati. Di malam hari, ia menjadi rahib tetapi di siang
hari ia menjadi ksatria-ksatria dan pejuang-pejuang sosial yang melakukan
reformasi untuk perbaikan kualitas masyarakatnya.
Wallahu a’lam
bish shawab
Daftar
Pustaka
Asy-Sya’rawi, Syekh Muhammad Matawali, Menyingkap Misteri Isra dan
Mi’raj, Terj: As’ad Yasin, Surabaya:
CV. Karya Utama, tt
Bagir, Haidar, Buku Saku
Tasawuf, Bandung:
PT. Mizan Pustaka, cet. II, 2006
Haekal, Muhammad Husain, Sejarah Hidup Muhammad, Terj: Ali
Audah, Jakarta:
PT. Pustaka Litera Antar Nusa, cet. XXIII, 2006
Noer, Kautsar Azhari, Tasawuf Perenial, Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, cet I,
2003
Shihab, M. Quraish, DR., “Membumikan” Al-Quran, Bandung: Penerbit Mizan,
Cet. II, 1992
Shihab, M. Quraish, DR., Lentera Hati, Bandung: Penerbit Mizan, Cet. VI, 1996
06/07/2007
Tidak ada komentar:
Posting Komentar