KONTEKSTUALISASI KITAB MAULID AL BARZANJI
Oleh : AHMAD FAOZAN, S.Ag
Guru PAI dpk SDN Kebulen III Jatibarang
Indramayu
Diposkan oleh Majalah
Media Pembinaan Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Jawa Barat, Februari
2011
"(Yaitu) orang-orang yang mengikut
Rasul, Nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan
Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma'ruf dan
melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka
segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang
dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Maka
orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya dan mengikuti
cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (al-Qur'an), mereka itulah
orang-orang yang beruntung." (QS. Al-A'raaf 7:157)
Kaum santri tentu akrab dengan kitab
Barzanji. Karena hampir tiap minggu (biasanya malam jum’at) mereka
membacanya di langgar atau masjid. Atau lebih sering di rumah tetangga yang
sedang hajatan, misalnya aqiqah dan cukur rambut anak yang baru lahir. Barzanji
juga sering dibaca saat peringatan Maulid (dialek jawa: Mulud) atau kelahiran
Nabi pada 12 Rabi’ul Awwal. Dalam membacanya, ada yang dibaca datar dan ada
juga bagian syair-syair yang dilagukan. Bahkan menariknya, bagian syair-syair
dilagukan dengan lirik lagu yang sedang hit. Dibaca dalam posisi duduk
atau sambil berdiri (mahal al qiyam).
Hingga sekarang, selain di pesantren,
pembacaan Barzanji tetap hidup di banyak tempat, di desa atau kota. Bahkan
belakangan beberapa bagian dari salawat diadopsi dalam industri rekaman yang
laris manis.
Tradisi ini lebih dihidupi oleh kaum santri
yang mengedepankan nilai-nilai sufisme dalam kehidupan dari pada formalisme
agama. Mereka lebih suka menghayati pengalaman ruhani dari pada berteriak
menyerukan formalisme syari’at dalam ruang Negara. Tradisi Barzanji menunjukkan
dirinya bertahan secara kultural selama berabad-abad dalam pasang surut
kekuasaan dan rezim politik apapun.
Sekilas Barzanji dan Biografi Penulisnya
Barzanji adalah karya tulis seni sastra
yang isinya bertutur tentang kehidupan Muhammad. Secara garis besar, paparan Al
Barzanji dapat diringkas sebagai berikut: (1) Silsilah Nabi adalah: Muhammad
bin Abdullah bin Abdul Muttalib bin Hasyim bin Abdul Manaf bin Qusay bin Kilab
bin Murrah bin Fihr bin Malik bin Nadar bin Nizar bin Maiad bin Adnan. (2) Pada
masa kecil banyak kejadian luar biasa pada dirinya. (3) Berniaga ke Syam
(Suraih) ikut pamannya ketika masih berusia 12 tahun. (4) Menikah dengan
Khadijah pada usia 25 tahun. (5) Diangkat menjadi Rasul pada usia 40 tahun, dan
mulai menyiarkan agama sejak saat itu hingga umur 62 tahun. Rasulullah
meninggal di Madinah setelah dakwahnya dianggap telah sempurna.
Barzanji
berakar dari nama keluarga ulama tarekat yang paling berpengaruh di Kurdistan
bagian selatan, Syahrazur, dekat kota Sulaymaniyah Irak sekarang. Keluarga
Barzinji, yang mengaku keturunan Nabi Muhammad melalui jalur Imam Musa
Al-Kazhim, mengambil nama keluarga dari desa Barzinja di Syahrazur.
Kitab Barzanji sendiri ditulis oleh keturunan
keluarga Barzinji, Syekh Ja'far ibn Hasan ibn Abdul Karim ibn Muhammad
(1690-1766). Beliau lahir di Madinah dan menghabiskan seluruh usianya di sana. Syekh
Ja’far adalah seorang mufti Asy-Syafi’iyah di Madinah al Munawarah. Karya tulis
ini sebenarnya berjudul 'Iqd al-Jawahir (Kalung Permata) yang disusun
untuk meningkatkan kecintaan kepada Nabi Muhammad saw. Tapi kemudian lebih
terkenal dengan nama penulisnya.
Ulama
Nusantara kelahiran Banten, Pulau Jawa, yang terkenal sebagai ulama dan penulis
yang produktif dengan banyak karangan, Syaikh Muhammad Nawawi al-Bantani
al-Jawi turut menulis syarh (penjelas) bagi “Mawlid al-Barzanji”
dan dinamakannya “Madaarijus Su`uud ila Iktisaa-il Buruud“.
Relasi
Barzanji dan Maulid Nabi
Menarik,
paparan Nico Captein, seorang orientalis Universitas Leiden dalam bukunya
“Perayaan Hari Lahir Nabi Muhammad SAW”. Menurutnya, Maulid Nabi pada mulanya
adalah perayaan kaum Syi’ah Fatimiyah di Mesir untuk menegaskan kepada publik
bahwa dinasti
tersebut benar-benar keturunan Nabi. Ada nuansa politis dalam perayaannya. Dari kalangan Sunni, pertama kali diselenggarakan di Suriah oleh Nuruddin pada abad XI. Pada abad itu juga Maulid digelar di Mosul Irak, Mekkah dan seluruh penjuru Islam. Kendati demikian, tidak sedikit pula yang menolak memperingati karena dinilai bid’ah (mengada-ada dalam beribadah). Adapun Shalahuddin Al Ayyubi yang dikenal sebagai perintis peringatan maulid, sebenarnya hanya berperan menghidupkan kembali (revitalisasi) maulid yang pernah ada pada masa dinasti Fatimiyah. Tujuannya untuk membangkitkan semangat jihad (perjuangan) dan ittihad (persatuan) tentara Islam melawan crusader (pasukan salib). Dari itulah muncul anggapan, Shalahuddin adalah penggagas dan peletak dasar peringatan maulid nabi.
tersebut benar-benar keturunan Nabi. Ada nuansa politis dalam perayaannya. Dari kalangan Sunni, pertama kali diselenggarakan di Suriah oleh Nuruddin pada abad XI. Pada abad itu juga Maulid digelar di Mosul Irak, Mekkah dan seluruh penjuru Islam. Kendati demikian, tidak sedikit pula yang menolak memperingati karena dinilai bid’ah (mengada-ada dalam beribadah). Adapun Shalahuddin Al Ayyubi yang dikenal sebagai perintis peringatan maulid, sebenarnya hanya berperan menghidupkan kembali (revitalisasi) maulid yang pernah ada pada masa dinasti Fatimiyah. Tujuannya untuk membangkitkan semangat jihad (perjuangan) dan ittihad (persatuan) tentara Islam melawan crusader (pasukan salib). Dari itulah muncul anggapan, Shalahuddin adalah penggagas dan peletak dasar peringatan maulid nabi.
Sementara,
historisitas Barzanji berawal dari lomba menulis sirah dan puji-pujian kepada
Nabi yang diselenggarakan Shalahuddin pada 580 H / 1184 M. Dalam kompetisi
itu, karya indah Syekh Ja’far tampil sebagai yang terbaik. Sejak itulah Kitab
al Barzanji tersosialisasikan.
Masuknya Kitab Barzanji ke
Indonesia
Penelusuran
asal usul salawat Barzanji menjadi menarik, karena akan memperkaya persilangan
tradisi Islam Nusantara. Pendapat yang lazim selama ini mengemukakan,
persilangan budaya Islam Nusantara berasal dari Arab, India, dan Cina.
Barzanji, menurut Suhadi (2004), Ketua Kajian Program Institut Kajian Islam
Nusantara LKIS Yogyakarta, meneguhkan pengaruh Kurdistan ke Nusantara.
Lebih lanjut, dalam sebuah
tulisannya, Suhadi menegaskan bahwa salawat Barzanji dipopulerkan di Indonesia
antara lain melalui tarekat Qadiriyah Naqsabandiyah. Sementara itu, bila
ditelusuri, anggota keluarga Barzinji di Kurdistan sejak awal juga menjadi
syaikh dan pengikut tarekat Qadiriyah.
Persinggungan ulama Nusantara dengan
Kurdi tidak berlangsung di Kurdistan, melainkan di Madinah. Pada saat itu,
Haramain (Makkah dan Madinah) tidak dapat disangkal menjadi pusat wacana
keislaman. Ulama Nusantara abad 17 banyak yang berguru kepada salah satu ulama
Kurdi terkemuka, Ibrahim Ibn Hasan Al-Kurani (1615-1690) di Madinah. Dia
merupakan guru tarekat yang memegang ijazah (otoritas) dari berbagai
tarekat sekaligus,: Syatariyah, Qadiriyah, Naqsabandiyah dan Cistiyah. Dua
ulama Nusantara tercatat menjadi santrinya di Madinah, ‘Abd Al Ra’uf al Sinkili
(1620-1695) dan Muhammad Yusuf al Maqassari (1627-1699).
Lalu pada abad 19, seorang ulama
dari Kalimantan Barat, Ahmad Khatib as Sambas (w. 1878), belajar dan menjadi
guru sampai akhir hidupnya di Mekkah. Khatib Sambas yang menulis kitab tasawuf
monumental Fathul ‘Arifin (kemenangan orang-orang ma’rifat)
rupa-rupanya mewarisi kepiawaian ulama Nusantara sebelumnya dalam mempelajari
tasawuf dan tarekat. Beliau berhasil mensintesakan dua tarekat sekaligus dengan
mendirikan tarekat Qadiriyah Naqsabandiyah yang mendapatkan sambutan massif di
Indonesia mulai pertengahan abad 19.
Khatib Sambas adalah salah satu
ulama Nusantara yang berdebat sengit melawan kecenderungan wahabisme,
puritanisme dan pelarangan tarekat serta membendung arus kecenderungan tersebut
masuk Nusantara. Kiai Nawawi al Bantani (1813-1897) yang di atas disebut
sebagai pensyarah Kitab Al Barzanji, merupakan salah satu santri terbaiknya di
Mekkah.
Belum diketahui, siapa yang pertama
kali membawa Barzanji masuk ke Indonesia dan mempopulerkannya. Karena baik
Khatib Sambas maupun Nawawi al Bantani menghabiskan usianya di Mekkah dan
Madinah. Menurut catatan sejarah, Khatib Sambas membaiat dan menunjuk para
khalifah (utusan) untuk menyebarkan tarekat Qadiriyah Naqsabandiyah ke
Nusantara. Premis inilah yang menjadi pijakan Suhadi. Mungkin melalui para
khalifah dan jaringan anggota tarekat ini Barzanji tersebar luas di Nusantara
hingga kini.
Di sisi lain, secara tidak langsung,
beberapa santri yang pernah belajar di Mekkah atau Madinah seperti Ahmad Rifa’i
Kalisalak (w.1875), Khalil Bangkalan (w.1925), Hasyim Asy’ari (w. 1947) dan
Ihsan Dahlan Kediri (w.1952) yang semuanya menjadi perintis pesantren Jawa,
memiliki peran yang penting. Komunitas santri dan pesantren inilah yang sampai
sekarang masih tetap konsisten “menghidupi” Barzanji. Barzanji yang tidak bisa
dipisahkan dari tarekat Qadiriyah Naqsabandiyah kemudian semakin diterima
secara massif setelah Nahdlatul ‘Ulama, organisasi umat Islam terbesar di
Indonesia, mengakui tarekat tersebut sebagai salah satu tarekat mu’tabarah
(legitimate) bagi kaum nahdliyin.
Kontekstualisasi
Kitab Barzanji
Di awal penyusunannya, seperti
disebutkan di muka, oleh Shalahuddin al Ayyubi Kitab Barzanji dibacakan pada
peringatan Maulid Nabi dengan tujuan untuk memperkuat semangat juang umat
Islam, yaitu dengan cara mempertebal kecintaan kepada Rasul. Ternyata
peringatan maulid nabi yang diselenggarakan Shalahuddin itu membuahkan hasil
yang positif. Semangat umat Islam menghadapi Perang Salib (The Crusade)
bergelora kembali. Shalahuddin berhasil menghimpun kekuatan, sehingga pada
tahun 1187 (583 Hijriah) Yerusalem direbut oleh Salahuddin dari tangan bangsa
Eropa.
Di sisi lain, ada salah satu visi yang
tidak dapat dipisahkan dari keluarga Barzinji di Kurdi, yaitu semangatnya untuk
melakukan resistensi terhadap bentuk-bentuk penindasan, terutama pada masa kolonial.
Pada tahun 1920-an, al Barzanji menjadi semakin masyhur. Kala itu, Syekh Mahmud
al Barzinji memimpin pemberontakan kolonialisme Inggris dan menyatakan diri
sebagai raja Kurdistan.
Pengalaman sejarah tarekat Qadiriyah
Naqsabandiyah di Indonesia juga memiliki visi serupa. Peristiwa pemberontakan
petani Banten tahun 1888 yang diinisiasi oleh pemimpin dan pengikut tarekat ini
melawan penindasan kolonial Belanda merupakan contoh nyata.
Akhirnya, Suhadi menekankan, bahwa
tarekat berperan sebagai salah satu gerakan transformasi sosial yang
kontekstual dan aktual sesuai tantangan zamannya. Tradisi Barzanji menyediakan lokus
tradisi yang sangat kaya, luas dan hidup dalam masyarakat kita dan menunggu
campur tangan kreatif kita dari pada
sekedar bersitegang meneriakkan formalisme agama di satu sisi dan liberalisme
di sisi lain. Wallahu a’lam (dari berbagai sumber)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar