QURBAN DALAM
PERSPEKTIF PENDIDIKAN
OLEH
: AHMAD FAOZAN, S.Ag
Guru
PAI dpk pada SDN Kebulen III Jatibarang Indramayu
Diposkan oleh Majalah Media Pembinaan Kantor
Wilayah Departemen Agama Provinsi Jawa Barat, Desember 2009
Perintah berqurban dapat dilacak
pada “drama” pengorbanan Ismail alaihssalam
oleh sang ayah, Ibrahim alaihissalam menuju puncak kepasrahan total
kepada Allah swt.
Qurban dalam
Lintasan Sejarah
Menurut perkiraan sejarah, Ibrahim hidup dalam abad ke 19 dan 18 SM. Pada
mulanya, ia tinggal di daerah kelahirannya, Ur, di lembah Efrat Tigris
(Mesopotamia Irak) kemudian pindah ke Harran (Suriah Utara) dan terakhir di
Kan’an (Palestina) bersama istrinya Sarah, kemenakannya Luth bin Haran dan
beberapa keluarga lainnya. Kehidupan berpindah-pindah yang dilakukannya adalah dalam
kerangka mempertahankan ajaran monoteis, dan menentang praktik penyembahan
berhala yang dilakukan oleh sanak keluarga (termasuk ayahnya, Azar, yang
berprofesi sebagai tukang kayu dan pembuat berhala) dan kaumnya termasuk Raja
Namrud, penguasa Babilonia yang sangat diktator dan memerintahkan rakyatnya
untuk menyembah dirinya. Nabi Ibrahim menampilkan model dakwah dan pendidikan
dialogis untuk mengajak sanak kerabat dan kaumnya pada ketauhidan.
Ketika Palestina mengalami bencana
kelaparan, Ibrahim bersama keluarga pindah ke Mesir. Karena raja Mesir tertarik
kepada Sarah yang cantik, Ibrahim terpaksa mengakunya sebagai saudaranya,
lantaran takut dianiaya oleh raja. Dan sarah pun diambil (dikawin) raja. Akan
tetapi, raja segera mengetahui bahwa Sarah bukanlah saudara Ibrahim, melainkan
isterinya. Sarah pun dikembalikan kepada Ibrahim disertai hadiah sorang budak
perempuan berkebangsaan Mesir, bernama Hajar, sebagai penghargaan raja kepada
Sarah sendiri dan Ibrahim yang bijaksana.
Sampai berumur 85 tahun, Ibrahim
belum mendapatkan keturunan dari Sarah. Karena itulah, Sarah memperkenankan
Ibrahim menikahi Hajar, budak perempuannya. Dari Hajar inilah lahir seorang
putera yang didambakan, yaitu Isma’il (Ishma El, “Allah telah
mendengar”), karena Ibrahim memandang lahirnya bayi itu sebagai jawaban atas
doanya yang mendambakan keturunan.
Kelahiran Isma’il membuat istri
pertamanya, Sarah merasa “cemburu”. Ketegangan pun terjadi antara Sarah dan
Hajar. Sarah meminta agar Hajar dan anaknya dikeluarkan dari rumah tangga
mereka. Ibrahim cukup memahami perasaan Sarah sehingga ia menerima
permintaannya untuk membawa keluar Hajar. Atas petunjuk Allah, Ibrahim, Hajar
dan anaknya Isma’il dibawa ke arah selatan, ke sebuah lembah gersang yang
disebut Bakkah (Mekkah). Di lembah yang tandus, kering kerontang itu dahulu
telah berdiri kokoh rumah suci Allah, Ka’bah.
Sementara Hajar dan Isma’il tinggal
di Mekkah, Ibrahim kembali ke Kan’an, kepada istrinya yang pertama. Sesekali
Ibrahim menengok putra terkasihnya. Pun ketika
Ibrahim bermimpi mendapat wahyu agar menunaikan sumpah setianya kepada Sang
Khaliq untuk mengurbankan anak lelaki dambaannya itu.
Dalam masyarakat Ibrahim, terdapat
dua kelompok keagamaan yang dominan, yaitu al shabi’ah dan al hunaf. Kelompok
pertama memandang dalam ma’rifat dan taat kepada perintah Allah diperlukan
adanya perantara. Perantara itu harus berupa ruh dan mendekatkannya kepada
Tuhan dari segala tuhan. Sedangkan kelompok kedua meyakini bahwa dalam ma’rifat
dan taat kepada perintah Allah diperlukan perantara yang bukan dari ruh,
melainkan dari manusia. Alasannya adalah bahwa derajat kesucian, kemaksuman,
dukungan, dan hikmah manusia lebih tinggi dari pada ruh.
Ajaran monoteis Ibrahim dengan perintah qurban atas diri Isma’il ini datang membawa pencerahan. Beliau dititah Tuhan melalui
mimpi untuk menyembelih anaknya sebagai isyarat bahwa anak terkasih –jiwa yang
paling berharga di sisi seseorang—bukanlah sesuatu yang berarti jika Tuhan
telah menitah.
Tetapi Allah Mahakasih, tak berkenan menjadikan
manusia sebagai korban. Perintah bagi
Ibrahim untuk menyembelih anaknya bukan untuk melanjutkan tradisi
pengurbanan manusia. Sebab setelah pisau digerakkan di leher suci Ismail,
tiba-tiba seekor domba dijadikan penggantinya.
Nilai Pendidikan
dalam Qurban
Masalah pendidikan paling tidak mencakup empat faktor pendidikan, yaitu
tujuan, kurikulum (materi), metode dan media, guru dan siswa. Keempat faktor
inilah yang digunakan untuk menganalisis nilai-nilai pendidikan dalam kisah tentang
pengurbanan Isma’il.
Dari segi tujuan pendidikan, kisah ini sarat dengan orientasi dan tujuan
pendidikan. Tujuan utama pendidikan (Islam) adalah mengantarkan manusia beriman
dan bertaqwa kepada Allah dan membentuk manusia yang bermoral baik.
Kepasrahan total dan kesabaran menerima ujian yang sangat berat dari
Allah merupakan sikap seorang yang beriman. “Tatkala
keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis
(nya), (nyatalah kesabaran keduanya). Dan Kami panggillah dia: "Hai
Ibrahim, sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu", sesungguhnya
demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.
Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu
dengan seekor sembelihan yang besar. Kami abadikan untuk Ibrahim itu (pujian
yang baik) di kalangan orang-orang yang datang kemudian, (yaitu)
"Kesejahteraan dilimpahkan atas Ibrahim".Demikianlah Kami memberi
balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ia termasuk
hamba-hamba Kami yang beriman.”(QS 37: 103-111).
Dalam usia yang masih belia, Isma’il mampu menampilkan
sosok pribadi yang mantap keimanannya. Ibrahim adalah figur pendidik yang telah
mampu menanamkan keimanan sejak usia dini pada putranya.
Dialog edukatif dalam “drama” pengorbanan Isma’il juga mengandung
konotasi metode pendidikan. “Maka tatkala anak itu
sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata:
"Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu.
Maka fikirkanlah apa pendapatmu!" Ia menjawab: "Hai bapakku,
kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku
termasuk orang-orang yang sabar".(QS
37: 102). Ibrahim menggunakan metode dialogis yang penuh kasih sayang, bukan
indoktrinasi yang otoriter dan verbalistik. Kisah ini juga meniscayakan
pentingnya metode komunikatif, humanistik, terbuka, kebebasan berpendapat dalam
pendidikan dan keseimbangan antara teori dan praktik (perintah menyembelih dan
pelaksanaan berkurban).
Dari segi materi pendidikan, dialog Ibrahim dan
putranya Ismail dalam ayat di atas, tersirat pentingnya kesesuaian materi
(perintah berkurban) dengan tingkat kematangan dan kedewasaan peserta didik.
Redaksi ayat di atas menyatakan “Maka tatkala anak itu sampai (pada umur
sanggup) berusaha…… menunjukkan bahwa Isma’il sudah berusia matang untuk
memikirkan dan menyikapi “tawaran” orang
tuanya.
Dari segi peserta didik, kisah ini menghendaki
“peserta didik” yang aktif, berkemauan kuat, siap menghadapi tantangan,
berpikir rasional dan berwawasan masa depan. Tentu, untuk “menghasilkan” peserta didik yang demikian
harus dimulai sejak masa prenatal. “(Ibrahim berkata:) Ya Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang
termasuk orang-orang yang saleh. Maka Kami beri dia kabar gembira dengan
seorang anak yang amat sabar” (QS 37:
100-101)
Kisah ini juga mengisyaratkan pentingnya
kompetensi kepribadian (personality competency) seorang pendidik, di samping kompetensi lainnya.
Jika dalam konteks ini yang menjadi
pendidik adalah Ibrahim, maka seorang pendidik idealnya memiliki kualitas
kepribadian seperti Ibrahim, yang diatributi al Quran sebagai muslim (berserah
diri, patuh), mu’min (beriman, memiliki komitmen dan amanah), hanif
(lurus, jujur dan benar), qanit (tunduk, loyal dan taat asas), shalih
(baik, patut), shiddiq (jujur, benar), halim (santun, lembut,
cerdas, dewasa), syakir (berterima kasih, apresiatif), awwah
(berintrospeksi diri, terus berada di jalan yang benar), munib (kembali
ke jalan yang benar, mengikuti suara hati nurani), dan khalil (kasih
sayang). Semua predikat ini merupakan sifat, karakter dan kepribadian yang
sangat penting dan ideal dimiliki seorang pendidik.
Dengan demikian, kisah Ibrahim dan Isma’il ini
dapat dikontekstualisasikan dalam bentuk model pendidikan yang demokratis,
humanis dan transformatif. Wallahu a’lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar