MENEGUHKAN
(KEMBALI) PERAN KEAYAHAN
DALAM
PENGASUHAN DAN PENDIDIKAN ANAK
Oleh : AHMAD
FAOZAN, S.Ag*
“Sesungguhnya
Tuhan punya hak atasmu, dirimu punya hak atasmu, keluargamu punya hak atasmu,
maka tunaikanlah hak itu pada yang empunya” (HR Tirmidzi)
Adalah Bunda
Arifah Handayani (Founder Smart Parenting Facebook Community) yang membagikan
pengalamannya menjadi seorang full time mom dalam buku “Smart
Parenting With Love” (2010) “Ada sebuah pertanyaan dalam benak, mengapa
pekerjaan full time mom tidak menyediakan cuti, padahal bunda juga
manusia yang kadang butuh waktu untuk dirinya sendiri. Sedangkan ayah saja
punya weekend dan cuti tahunan. Mengapa setelah pulang kerja seharian anak-anak
tidak ada yang berusaha mencari perhatian ayah dan sedikit membiarkan bunda
bernafas. Tapi ternyata bukan hal mudah untuk membuat anak-anak membutuhkan
ayahnya sebagaimana mereka membutuhkan bundanya. Sayangnya hubungan mereka
dengan ayah terkendala oleh sedikitnya waktu dan kurangnya usaha ayah
menjadikan waktu yang terbatas lebih berkualitas. Peran aktif seorang ayah
dengan gayanya yang pasti lain dari bunda, akan membuat generasi penerus dalam
genggaman lebih utuh dan kaya. Dengan keterlibatan total ayah, maka bunda akan
punya ruang dan waktu untuk membuat dirinya lebih seimbang dan berkualitas”.
Selanjutnya ia
bertanya : “Seberapa besar para ayah di rumah mengambil peran dalam pengasuhan
dan pendidikan buah hati? Sudahkah mereka memenuhi kriteria “Super Dad”
bagi anak-anak kita? Apakah para ayah sudah all out mengeluarkan segenap
sumberdaya, baik itu waktu, tenaga maupun pemikiran dan perasaan dalam proses
mencerdaskan buah hati di rumah?”
Pertanyaan
Bunda Arifah mungkin juga diamini sebagian besar bunda yang memutuskan menjadi full
time mom. Pertanyaan yang muncul setelah melihat realitas kehidupan rumah
tangga yang dijalani.
“Saya sering
menghadapi situasi, di mana saat saya dibuat begitu sibuk dengan pekerjaan
rumah. Sedangkan suami kadang tidak merasa perlu turun tangan untuk membantu.
Lupakan urusan tetek bengek rumah, biar itu porsi bunda saja yang memang diam
di rumah. Minimal secara otomatis (tanpa harus diminta) ayah dapat mengambil
alih tugas mengurus keperluan anak-anak, terutama balita yang belum 100%
mandiri. Hal yang sejatinya merupakan kewajiban ayah juga. Tapi apa mau dikata,
sulit untuk seorang ayah mengambil peran itu lantaran keterbatasan prioritas.
Buat ayah, kadang waktu istirahatnya demikian berharga untuk diganggu gugat, meski
untuk urusan anak. Menghadapi situasi ini, seringkali saya kehilangan emosi dan
kehilangan nilai ibadah atas semua yang saya kerjakan karena jengkel. Apa daya
bunda cuma manusia. Walaupun kadang saya berhasil mengontrol diri dan melihat
semuanya sebagai ladang amal yang amat luas dan menghasilkan. Tapi anak-anak,
kan, berhak akan waktu ayahnya untuk ikut ambil bagian mengurusi mereka. Banyak
kegiatan sederhana tanpa biaya yang dapat dilakukan ayah bersama anak-anak di
rumah yang bisa membuat mereka bahagia dan lebih cerdas emosinya dengan
partisipasi ayah yang all out”, papar Bunda Arifah.
Sebuah
pengakuan yang jujur dari seorang bunda. Yang mungkin juga merupakan kepanjangan
lidah para bunda terutama full time mom. Sebuah pengakuan yang menunjukkan kerinduan
akan partisipasi ayah dalam mengasuh dan mendidik anak-anak.
Memang, dalam
pandangan banyak orang, ketaatan bagi perempuan (baca: ibu/bunda) adalah
mengabdikan seluruh hidupnya untuk suami dan anak-anak. Dan bagi laki-laki, ia
bertugas mencari nafkah dengan bekerja
di luar rumah. Pembagian kerja rumah tangga yang dianggap fixed dan
tidak bisa diubah akibat ketimpangan pandangan atas relasi laki-laki dan
perempuan. Mengasuh dan mendidik anak-anak, mulai memandikan, menyuapi,
mengajaknya bermain, menidurkan dan menyusui adalah tugas ibu. Bahkan bila anak
sudah memasuki usia sekolah, tugas ibu bertambah dengan mengantar dan
menjemputnya ke dan dari sekolah, menemani belajar dan mengerjakan Pekerjaan
Rumah (PR),mengambil rapor, atau apapun yang berhubungan dengan sekolah.
Betulkah Islam
mengatur pembagian kerja dalam keluarga seperti itu? Islam secara tegas
tidak membedakan fungsi penciptaan perempuan dan laki-laki. Al Quran
menjelaskan bahwa diciptakannya laki-laki dan perempuan adalah untuk beribadah
kepada Allah (QS. 51: 56). Karena fungsi penciptaan yang sama, maka tugas
kemanusiaan laki-laki dan perempuan juga sama. Al Quran sama sekali tidak
membedakan kewajiban laki-laki dan perempuan dalam hal shalat, puasa, haji dan
zakat (QS. 24 : 56 ; QS. 33 : 33 ; QS. 2 : 183QS. 3 : 97)
Al
Quran dan hadis juga tidak membedakan pekerjaan publik dan domestik. Hal ini,
salah satunya diisyaratkan, bahwa Rasulullah sebagai pembawa ajaran Islam dan
berjenis kelamin laki-laki, tidak anti pekerjaan rumah tangga. Hamudah dalam
buku Al Rasul fi Al Bayt --sebagaimana dikutip Istiadah dalam Pembagian
Kerja Rumah Tangga dalam Islam (1999) -- menegaskan bahwa Rasulullah sering
membantu keluarganya, menjahit bajunya yang robek, alas kakinya yang putus,
memeras susu kambing dan melayani dirinya sendiri. Beliau bahkan membantu
keluarganya dalam tugas-tugas mereka.
Lalu hanya di pundak bunda kah tanggung jawab akan pengasuhan dan pendidikan
anak-anak?
Pendidikan Anak, Tanggung Jawab Ayah dan Bunda
Tugas menyiapkan generasi penerus yang berkualitas adalah tugas bersama
antara ayah dan bunda. Al Quran memerintahkan agar ayah dan bunda mempersiapkan
generasi yang berkualitas dan takut akan hadirnya generasi yang lemah.
“Dan
hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di
belakang mereka anak-anak yang lemah. Yang mereka khawatir terhadap
(kesjahteraan) mereka” (QS. 4: 9)
Ayat ini mengisyaratkan bahwa ayah dan
ibu sama-sama bertanggung jawab atas generasi penerusnya. Tanggung jawab itu
harus dipikul bersama-sama dan tidak ada yang lebih ditekankan siapa yang akan
menanganinya. Bahkan Islam menekankan peranan ayah dalam mendidik anak. Bila
sementara ini masyarakat kita selalu menekankan pendidikan anak hanya di pundak
ibu, hal ini tidak sejalan dengan al Quran, karena kisah Luqman dan kisah
kerelaan Ismail untuk disembelih atas perintah Allah oleh ayahnya, Ibrahim,
menunjukkan bahwa ayah mempunyai peran strategis dalam pengasuhan dan
pendidikan anak.
Bercermin pada Rasulullah SAW
Rasulullah adalah teladan dalam menjalani
biduk rumah tangga. Ketika Abdullah bin Umar
dan dua orang kawannya menemui ‘Aisyah dan memintanya bercerita tentang Nabi
saw, ‘Aisyah menarik nafas panjang.
Kemudian dia menangis seraya berkata lirih: “Ah, semua perilakunya
memesonakan”. Abdullah mendesak lagi, “ceritakan kepada kami yang paling
memesonakan dari semua yang pernah Anda saksikan”. Barulah ‘Aisyah menceritakan
sepotong kisah indah bersama Rasulullah saw.
“Pada suatu malam, ketika dia tidur bersamaku dan kulitnya sudah
bersentuhan dengan kulitku, dia berkata, “Ya ‘Aisyah, izinan aku beribadat
hepada Tuhanku”. Aku berkata, “Aku sesungguhnya senang merapat denganmu; tetapi
aku juga senang melihatmu beribadat kepada Tuhanmu”….
Bagi
‘Aisyah, istri sang Rasul, seluruh perilaku Rasul memesonakan. Sosok suami
teladan. Dia mengutip saat Nabi saw, manusia paling mulia, meminta izin
kepadanya untuk beribadat di tengah malam. Permintaan izin itu terkandung makna
penghormatan, perhatian, dan kemesraan. Apalagi yang lebih indah yang diperoleh
seorang istri dari suaminya selain itu?
Rasulullah
juga teladan dalam pengasuhan dan pendidikan anak-anaknya. Rasul mengungkapkan
kasih sayang kepada anak-anaknya tidak saja secara verbal, seperti memanggil
putrinya Fathimah dengan sebutan “Ummu Abiha” (ibu yang merawat bapaknya) sebagai penghormatan atas
kekhidmatan Fathimah. Rasul pun mengungkapkan kasih sayangnya dengan perbuatan.
Bila Rasul berada dalam majlis dan melihat Fathimah datang, beliau segera
bangkit. Tidak jarang beliau mencium tangan Fathimah di hadapan
sahabat-sahabatnya. Kadang beliau mencium dahi Fathimah seraya berkata, “Bila
aku merindukan bau surga, aku mencium Fathimah”.
Ketika berkhutbah, beliau melihat Hasan dan Husein
berlari dengan pakaian yang menarik perhatian. Beliau turun dari mimbar,
mengangkat mereka dan meneruskan khutbah dengan kedua cucunya dalam pangkuan.
Beliau berkata, “Mereka adalah penghulu para remaja di surga”. Ketika
dalam shalat, pernah beliau memanjangkan sujudnya hanya karena tidak ingin
mengganggu Hasan dan Husein yang berada di atas punggungnya. Di kali lain,
beliau pun pernah mempercepat shalat jamaahnya ketika terdengar tangisan
anak-anak di belakang.
Suatu
hari, sahabat Umar menemukan Rasul merangkak di atas tanah, sementara dua anak
kecil berada di atas punggungnya. Umar berkata, “Hai anak-anak, alangkah
indahnya tungganganmu itu”. Yang ditunggangi menjawab, “alangkah
indahnya para penunggangnya!”. Suasana ini menunjukkan kedekatan Rasul
dengan cucu-cucunya. Rasul mencintai mereka dan dengan jelas mengungkapkan
kecintaannya itu.
Ketika
Rasulullah menggelari Fathimah “Ummu Abiha”, beliau memberikan sanjungan
atas kekhidmatan Fathimah. Ketika Rasul bermain dengan Hasan dan Husein, beliau
sedang memberikan contoh permainan imajinatif. Ketika memeluk Hasan dan Husein
seraya berkata “Ya Allah aku mencintai mereka”, dan ketika mencium
Fathimah seraya berkata “Bila aku rindu bau surga, aku mencium Fathimah”, beliau sedang mengkomunikasikan kasih sayang
kepada anak-anaknya.
Kali lain, Ummu Al Fadhl bercerita: ”Suatu ketika aku
menimang seorang bayi. Rasul saw kemudian mengambil bayi itu dan
menggendongnya. Tiba-tiba sang bayi pipis dan membasahi pakaian Rasul.
Segera saja kurenggut secara kasar bayi itu dari gendongan Rasul. Rasul
pun menegurku: “pakaian yang basah ini dapat dibersihkan oleh air. Tetapi apa
yang dapat menghilangkan kekeruhan dalam jiwa sang anak akibat renggutanmu yang
kasar itu?”. Rasul saw tidak ingin rasa “rendah diri” atau “berdosa” menyentuh
jiwa anak tersebut yang dapat dibawanya hingga dewasa.
Begitulah
Rasul. Ia adalah suami teladan. Ia Super Dad bagi anak-anaknya dan anak-anak seluruhnya. Rasul –dalam hal-hal
tertentu-- bahkan tidak membedakan perlakuannya terhadap anak dan orang dewasa,
seperti dalam mengucapkan salam. Ucapan salam pada anak minimal memberi dua
dampak positif bagi perkembangan jiwanya. Pertama, menanamkan rasa rendah hati.
Kedua menanamkan rasa percaya diri akibat “penghormatan” yang diperolehnya.
Pentingnya Figur dan Keteladanan
Ayah
Hasil penelitian para ahli menunjukkan bahwa partisipasi ayah dalam
mendidik anak sangat penting. Penelitian yang dilakukan Frank Anderson dari
Amerika – sebagaimana dikutip Istiadah (1999) – menemukan bahwa anak yang
diajak bermain oleh ayahnya mencapai angka yang lebih tinggi dalam uji
kemampuan kognitif. Sedangkan anak perempuan yang diasuh dan dicintai oleh
ayahnya akan lebih bisa memandang dunia sebagai tempat yang menarik dan
mempesona. Dalam penelitian lain, keberadaan ayah pada saat kelahiran anaknya
menjadi titik awal dibangunnya emosi yang erat antara ayah dan anak. Semakin
sering anak hadir dan melakukan kegiatan bersama ayah, semakin besar pula
keinginan anak akan kehadiran ayahnya. Selanjutnya dikatakan bahwa pengasuhan
ayah akan memberikan warna dan secara tidak langsung meningkatkan perkembangan
kepribadian anak yang sangat berguna ketika mereka harus bergaul dengan lawan
jenisnya.
Imam Suprayogo
(2010), Rektor UIN Malang, ketika membicarakan tentang pendidikan karakter menyatakan
bahwa generasi Indonesia saat ini termasuk kategori kurang beruntung, karena
miskin keteladanan. Padahal satu keteladanan lebih dahsyat
pengaruhnya dibanding seribu nasihat. Pendidikan tak kan pernah mencapai
kesejatiannya tanpa keteladanan.
Begitupun dengan peran ayah. Menjadi
teladan, adalah salah satu hal tersulit
yang dihadapi para ayah. Bicara dengan fasih tentang ini itu, adalah salah satu
keterampilan utama para ayah yang sejak lama dikenal sebagai komunikator hebat.
Tapi mewujudkannya dalam bentuk riil, mudah dilihat dan dijadikan sebagai model
hidup, tanpa perlu teori panjang lebar, masih perlu banyak latihan. Para ayah
yang perokok berat, tentu tak berharap anak-anaknya kelak menjadi “ahli hisab”
(gemar menghisab asap, maksudnya). Nasehat “Jangan sekali-sekali merokok ya
Nak, tidak baik untuk kesehatan, boros lagi, kan boros teman syetan, ” yang
diberikan kepada sang anak dengan lemah lembut tapi di bibir masih terselip
lintingan tembakau 9 cm, tentu hanya akan dianggap lelucon. Petuah untuk rajin
belajar, gemar membaca dan mengurangi menonton televisi akan terasa hambar,
bila sang ayah justeru tak boleh terganggu sedetikpun dari tayangan
kegemarannya, dan jarang terlihat membuka buku. Ajakan ayah untuk bersikap
sabar dan menghindari marah, pada kakak dan adik yang sedang bertengkar, tapi
disampaikan dengan mata melotot, suara keras, dan gerakan tangan untuk
menjewer, tentu susah dipahami substansinya oleh sang anak.
Untuk menjadi
ayah yang sukses, faktor keteladanan ayah sangat berpengaruh pada
pendidikan anak, karena pada tahap awal anak belajar dengan cara meniru. Ayah
lah yang pertama menjadi teladan untuk urusan akidah, ibadah, akhlak,
muammalah, dan segala hal yang ingin diajarkan pada anaknya. Keteladanan sangat
membantu dalam pembentukan karakter, dan bisa jadi sangat menghemat tenaga. Tak
perlu banyak cakap, anak adalah peniru yang hebat. “Pengaruh perbuatan satu
orang terhadap seribu orang lebih besar daripada pengaruh ucapan seribu orang
kepada satu orang.,” tulis Adil Fathi Abdullah menggambarkan kekuatan
keteladanan dalam “Kaifa Tushbihu Aban Naajihan (Menjadi Ayah yang
Sukses)”— sebagaimana dikutip Subhan Afifi (2010).
Kita tentu tetap berharap menjadi ayah teladan
bagi anak-anak kita, minimal menjadi sahabat bagi mereka, karena anak-anak
belajar dari kehidupan yang dijalaninya.
”Jika anak dibesarkan dengan kasih sayang dan persahabatan, ia belajar
menemukan cinta dalam kehidupan” tulis Dorothy Law Nolte dalam sajaknya “Children
Learn What They Live”. Kita terus berharap menjadi ayah harapan anak-anak.
“Aku Mau Ayah” tulis Iwan Rinaldi. Pun tetap berharap menjadi ayah yang
dibanggakan. “My Dad My Pious Dad (Ayahku Ayah yang
Saleh)” tulis Arsil Ibrahim (2008), “Ayah Sejati,
Semua Ayah adalah Bintang” tulis Neno Warisman.
Dan kita pun berharap bunda menangis
haru bahagia seperti ‘Aisyah kala menceritakan
Muhammad Sang
Rasul, suaminya.
Untuk para
bunda, mari kita mengemban bersama amanah ini hingga kita mampu
mempertanggungjawabkannya bersama pula
di hari nanti. Selamat Hari Ibu. Wallahu
a’lam. (dari berbagai sumber)
* Guru PAI dpk pada SDN Kebulen 3
Jatibarang Indramayu
05/11/2010
14:26
Tidak ada komentar:
Posting Komentar