HOMESCHOOLING:
PENDIDIKAN ALTERNATIF DALAM KERANGKA PEMENUHAN HAK ANAK UNTUK MEMPEROLEH
PENDIDIKAN
Oleh:
Ahmad Faozan, S. Ag
(Guru
PAI dpk pada SDN Kebulen III Jatibarang Indramayu)
Diposkan oleh Majalah Media Pembinaan Kantor
Wilayah Departemen Agama Provinsi Jawa Barat, Juli 2008
“Anda tidak harus
menjadi guru profesional ketika Anda ingin menyekolahkan putra-putri Anda di
rumah. Anak-anak adalah pembelajar alamiah, sementara Anda sendiri sebagai
orang tua, adalah guru-guru alamiah”
Sherri
Linsenbach
Pulang sekolah, seorang remaja
berusia lima
belas tahun --siswa kelas 3 SMP favorit dan berstatus “nasional plus”--
terlihat kecewa dan frustasi. Bagaimana ia
tidak merasa terpukul dan amat sangat kecewa. Ia merasa memiliki potensi unggul
di bidang kesenian, namun nilai kesenian yang diperolehnya di sekolah hanya 4,
sebuah angka yang dianggap nilai kurang dan angka merah dalam raport. Bisa ditebak, ia akhirnya “mogok” sekolah.
Orang tua bingung dibuatnya. Sebagai
seorang pendidik, sang ayah tentu tidak menerima begitu saja anaknya tidak
sekolah. Apa kata orang nanti, anak seorang pendidik kok tidak sekolah.
Tetapi akhirnya sang orang tua dengan bijak mengizinkan sang anak untuk
beristirahat dahulu di rumah dan tidak usah sekolah. Sambil mencari informasi
tentang kemungkinan kegiatan belajar dilakukan di rumah.
Sang anak tentu senang. Tanpa disadari, ia belajar berbagai hal di luar
mata pelajaran yang diajarkan di sekolah. Seperti membuat desain, melakukan
kegiatan sosial bersama ayahnya, mengamati perilaku adik-adiknya dan
sebagainya.
Kisah di atas bukan fiksi belaka,
tetapi sebuah kisah nyata. Sang anak adalah Minuk, puteri sulung DR. Seto
Mulyadi, Psi., M. Si. Tentu semua orang
mafhum, Kak Seto –panggilan populer sang ayah -- adalah seorang psikolog yang
mencintai anak-anak dan dunianya. Dan itulah salah satu alasan Kak Seto untuk
mencari tahu lalu mendirikan homeschooling di rumahnya.
Kisah lain datang dari Salatiga Jawa
Tengah. Seorang anak tidak mau sekolah karena ingin menjadi penulis. Baginya
tiada hari tanpa menulis. Lagi-lagi orang tua merasa heran, mengapa anaknya
tidak mau sekolah? Padahal kedua orang tuanya guru. Apa kata dunia? (meminjam
istilah dalam film Naga Bonar (Jadi) 2) anak guru tidak bersekolah. Sang anak
tetap keukeuh. setiap hari kerjanya membaca buku plus tak tik tak
tik tangannya dengan lincah menekan keyboard komputer untuk menulis, impian
terbesarnya. Akhirnya kedua orang tuanya sadar, apalagi selama ini mereka
selalu menambah wawasan baru tentang pendidikan, pendidikan yang membebaskan
dari buku-buku seperti “Quantum Teaching” dan “Revolusi Cara Belajar”. Andai kita sebagai guru seperti mereka.
(baca kisah lengkap sang anak dalam buku yang ditulisnya “Dunia Tanpa Sekolah,
2007) .
Lembaga pendidikan kita –sebagian--
ternyata benar-benar memasung anak didik seperti robot-robot kecil. Kecerdasan hanya
kognitif logical matematis, prestasi diukur dengan angka-angka. Masyarakat pun ikut-ikutan latah dan salah
kaprah, kalau mau belajar ya cuma di sekolah. Anak yang belajar tidak di
sekolah dianggap tidak belajar.
Padahal Allah menciptakan langit bumi beserta isinya agar manusia mau
belajar, mengamati, berfikir, dan melakukan berbagai eksperimen. Alam semesta
merupakan sumber belajar maha luas yang telah disediakan Sang Kebenaran dan
Pemilik Pengetahuan bagi manusia.
What is
Homeschooling?
Homeschooling, istilah ini
mungkin masih agak asing di telinga masyarakat Indonesia. Padahal dalam praktiknya
sudah lama diterapkan oleh masyarakat –dalam berbagai bentuk pendidikan luar
sekolah dan kesetaraan—dan tokoh-tokoh nasional kita. Sebut saja, misalnya KH.
Agus Salim, Ki Hajar Dewantara (Bapak Pendidikan kita) dan HAMKA (Haji Abdul
Malik Karim Amrullah).
Homeschooling lebih dari sekedar kegiatan bersekolah (baca:
belajar) di rumah. Belajar dan memperoleh pendidikan adalah hak anak, bukan
kewajiban. Ketika anak tidak dapat belajar di sekolah formal karena tiada biaya
atau tak betah sekolah, orang tua dan pemerintah harus mengupayakan pendidikan
bagi anak, bagaimanapun caranya. Homeschooling adalah salah satu
alternatif yang layak jadi pilihan. Tujuan pokok homeschooling, menurut
Kak Seto, adalah memenuhi hak anak dalam memperoleh pendidikan.
Pelaksanaan homeschooling di Indonesia
mendapat konsiderans dalam UU Sisdiknas No. 20 / 2003. Pasal 1 ayat 1 berbunyi:
“Pendidikan adalah usaha sadar dan terrencana untuk mewujudkan suasana belajar
dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi
dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan
dirinya, masyarakat, bangsa dan negara”.
Dalam Pasal 27 disebutkan bahwa “(1)
kegiatan pendidikan informal yang dilakukan oleh keluarga dan lingkungan
berbentuk kegiatan belajar secara mandiri dan (2) hasil pendidikan informal
diakui sama dengan pendidikan formal dan nonformal setelah peserta didik lulus
ujian sesuai dengan standar nasional pendidikan”.
Undang-undang di atas menegaskan
bahwa homeschooling merupakan jalur pendidikan informal di mana hasilnya
dapat disetarakan. Menurut Dr. Ella Yulaelawati, Direktur Pendidikan Kesetaraan
Dirjen PLS Depdiknas RI, peserta didik jalur informal dapat
pindah ke jalur formal atau nonformal dengan alih kredit kompetensi. Apabila
ingin mengikuti ujian nasional kesetaraan, hasil belajar siswa homeschooling
dapat diakui dari rapor, portofolio, CV (curriculum vitae), sertifikasi,
dan berbagai bentuk prestasi lain dan atau tes penempatan.
Dalam kasus di atas, Kak Seto akhirnya mengikutsertakan puterinya dalam
komunitas homeschooling setempat yang bernama PKBM (Pusat Kegiatan
Belajar Masyarakat) dan sekaligus kemudian berhasil ikut Ujian Kesetaraan untuk
Kejar Paket B. Sedangkan anak dari Salatiga, Izza Ahsin, akhirnya benar-benar
keluar dari sekolah dan hanya belajar menulis.
Homeschooling dapat tetap seiring berjalan dengan sekolah formal. Ada tiga jenis
pelaksanaan homeschooling, yakni tunggal, majemuk dan komunitas. Homeschooling
tunggal dilaksanakan oleh orang tua dalam satu keluarga tanpa bergabung
dengan lainnya. Jenis ini biasanya diterapkan karena ada tujuan-tujuan tertentu
yang tidak dapat dikompromikan dengan komunitas lain atau karena alasan jarak
tempat tinggal peserta didik dengan komunitas homeschooling lain.
Homeschooling majemuk dilaksanakan oleh dua atau lebih keluarga
untuk kegiatan-kegiatan tertentu karena kebutuhan-kebutuhan yang dapat
dikompromikan, sementara kegiatan pokok tetap dilaksanakan orang tua
masing-masing. Sedangkan komunitas homeschooling adalah gabungan
beberapa homeschooling majemuk yang menyusun dan menentukan silabus,
bahan ajar, kegiatan pokok, sarana/prasarana dan jadwal pembelajaran.
Di sisi lain, bahkan homeschooling
pun dapat menjadi sparring partner sekolah formal
sebagai homeschooling part time atau afterschool. Anak-anak dapat
tetap menjalankan kegiatan belajar di sekolah formal, namun apa yang kurang di
sekolah formal dapat dilengkapi dalam pelaksanaan homeschooling.
Karakteristik
Homeschooling
Kegiatan belajar mengajar selama ini
memberi kesan anak didik sebagai objek, bukan sebagai subjek belajar. Anak
didik “dipaksa” menelan berbagai materi pelajaran yang diajarkan guru. Guru benar-benar hanya
melakukan transfer of knowledge tanpa konsensus dengan anak didik.
Homeschooling menjadikan anak didik sebagai subjek. Anak didik
memiliki pilihan untuk menentukan materi yang disukai dan ingin dipelajarinya.
Anak didik pun belajar dengan gaya
belajar masing-masing, apakah visual, auditorial atau kinestetik.
Dengan menjadikan anak didik sebagai subjek, proses pembelajaran pun
dapat berlangsung dengan nyaman dan menyenangkan (joyfull). Tanpa
ditekan, diancam atau dipaksa.
Sumber belajar yang digunakan dalam homeschooling juga amat
beragam. Anak didik tidak hanya belajar dari guru, tapi dari koran, majalah, nara sumber, film,
televisi, perpustakaan, museum, internet, dan segala hal yang ada di
lingkungannya. Ia benar-benar belajar di dunia nyata, di alam yang sangat
terbuka yang telah diciptakan Allah untuk kesejahteraan manusia. Tidak terbatas
oleh dinding-dinding ruang kelas yang serba kaku dan tertutup.
Kunci utama homeschooling adalah fleksibilitas. Berbeda dengan
sekolah konvensional yang ada, kegiatan homeschooling tidak terbatas
oleh tempat dan waktu. Anak didik pun memiliki alternatif untuk belajar.
Pilihan tersebut mencakup where, when, and how to learn. Anak didik
dapat menentukan sendiri di mana mereka akan belajar. Mereka bisa belajar di
rumah, perpustakaan, laboratorium, tempat kerja, atau di mana saja sesuai
pertimbangan mereka sendiri. Waktu belajarpun sangat longgar. Kapan mereka sempat belajar tergantung pada masing-masing
anak didik. Mereka bisa belajar pagi, siang, atau malam hari. Demikian pula bagaimana mereka belajar. Anak didik
dapat menentukan strategi belajar mana yang ingin mereka tempuh dan menentukan
target mereka sendiri.
Dengan demikian, dalam homeschooling anak didik dilatih untuk
bertanggung jawab terhadap pilihannya sendiri. Anak didik terbiasa dengan
pembelajaran mandiri yang melunturkan ketergantungan untuk selalu belajar
“tatap muka” dan klasikal dalam frekuensi yang tinggi. Hal ini menguntungkan
mereka untuk dapat belajar di mana saja, dengan siapa saja dan dapat memutuskan
untuk belajar dalam lingkup komunitas dari skala terbatas hingga yang lebih
luas.
Inilah sebenarnya tujuan utama pendidikan. Yakni kemampuan belajar
sepanjang hayat (long life education / minal mahdi ilallahdi) melampaui
wajib belajar sembilan tahun. Belajar sepanjang hayat ini dapat dicapai apabila
anak didik terlatih belajar mandiri dalam hal penguasaan pengetahuan dan
keterampilan, pengambilan keputusan dan berinteraksi dengan lingkungannya.
Homeschooling juga sangat cocok dengan kegiatan belajar
kontekstual, yang sekarang lagi digembar-gemborkan pemerintah. Ealaine B.
Johnson, penulis Contextual Teaching and Learning, menulis: “ketika
seorang anak dapat mengaitkan isi mata pelajaran yang sedang dipelajarinya
–seperti matematika, ilmu pengetahuan alam, atau sejarah—dengan pengalaman
mereka sendiri, mereka menemukan makna, dan makna memberi alasan kepada mereka
untuk belajar”.
Akhirnya, homeschooling mengingatkan atau menyadarkan para orang
tua bahwa pendidikan untuk anak-anak tidak dapat dipasrahkan sepenuhnya kepada
sekolah formal. Bahkan untuk menanamkan rasa cinta belajar kepada anak sejak
dini, hanya orang tualah yang paling layak untuk mewujudkannya. Secara
naluriah, anak sejak berada dalam kandungan ibu sudah dilengkapi dengan kemauan
kuat untuk belajar. DePorter dalam “Quantum Learning” menyatakan : “ kita
dilahirkan dengan rasa ingin tahu yang tak pernah terpuaskan”.
“Setiap
anak dilahirkan dalam keadaan fitrah. Orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi,
Nasrani atau Majusi”
Nabi Muhammad SAW
DAFTAR BACAAN
Ahsin, M. Izza, Dunia Tanpa Sekolah, Bandung: Read Publishing House, 2007, Cet. I
DePorter, Bobbi, dan Hernacki, Mike, Quantum Learning, Membiasakan
Belajar Nyaman dan Menyenangkan, Bandung:
Penerbit Kaifa, 1999, Cet I
DePorter, Bobbi, et. al., Quantum Teaching, Mempraktikkan
Quantum Learning di Ruang-ruang Kelas, Bandung: Penerbit Kaifa, 2000, Cet. I
Faozan, Ahmad, Madrasah Tsanawiyah Terbuka di Pondok Pesantren:
Suatu Penerapan Teknologi Pendidikan dalam Rangka Pemerataan Kesempatan
Belajar, Skripsi, Jakarta: IAIN Syarif Hidayatullah, 2000
Kembara, Maulia D., Panduan Lengkap Homeshooling, Bandung:
Progressio, 2007
Mulyadi, Seto, DR., Psi., M.Si., Homeschooling Keluarga Kak Seto, Bandung: Penerbit Kaifa,
2007, Cet. I
Di indramayu ada komunitas homeschooling Ga pa, Kalo ada minta alamat Dan no contact nya
BalasHapusDi indramayu ada komunitas homeschooling Ga pa, Kalo ada minta alamat Dan no contact nya
BalasHapusMaaf pa Salah posting komentar, adakah komunitas homeschooling di imyu, Kalo ada dimmana Dan minta no kontaknya. Makasih
BalasHapusMaaf pa Salah posting komentar, adakah komunitas homeschooling di imyu, Kalo ada dimmana Dan minta no kontaknya. Makasih
BalasHapus