Perangkat Pembelajaran

Kamis, 20 September 2012

MENEGUHKAN (KEMBALI) PERAN KEAYAHAN DALAM PENGASUHAN DAN PENDIDIKAN ANAK


MENEGUHKAN (KEMBALI) PERAN KEAYAHAN
DALAM PENGASUHAN DAN PENDIDIKAN ANAK
Oleh      :               AHMAD FAOZAN, S.Ag*
“Sesungguhnya Tuhan punya hak atasmu, dirimu punya hak atasmu, keluargamu punya hak atasmu, maka tunaikanlah hak itu pada yang empunya” (HR Tirmidzi)
Adalah Bunda Arifah Handayani (Founder Smart Parenting Facebook Community) yang membagikan pengalamannya menjadi seorang full time mom dalam buku “Smart Parenting With Love” (2010) “Ada sebuah pertanyaan dalam benak, mengapa pekerjaan full time mom tidak menyediakan cuti, padahal bunda juga manusia yang kadang butuh waktu untuk dirinya sendiri. Sedangkan ayah saja punya weekend dan cuti tahunan. Mengapa setelah pulang kerja seharian anak-anak tidak ada yang berusaha mencari perhatian ayah dan sedikit membiarkan bunda bernafas. Tapi ternyata bukan hal mudah untuk membuat anak-anak membutuhkan ayahnya sebagaimana mereka membutuhkan bundanya. Sayangnya hubungan mereka dengan ayah terkendala oleh sedikitnya waktu dan kurangnya usaha ayah menjadikan waktu yang terbatas lebih berkualitas. Peran aktif seorang ayah dengan gayanya yang pasti lain dari bunda, akan membuat generasi penerus dalam genggaman lebih utuh dan kaya. Dengan keterlibatan total ayah, maka bunda akan punya ruang dan waktu untuk membuat dirinya lebih seimbang dan berkualitas”.
Selanjutnya ia bertanya : “Seberapa besar para ayah di rumah mengambil peran dalam pengasuhan dan pendidikan buah hati? Sudahkah mereka memenuhi kriteria “Super Dad” bagi anak-anak kita? Apakah para ayah sudah all out mengeluarkan segenap sumberdaya, baik itu waktu, tenaga maupun pemikiran dan perasaan dalam proses mencerdaskan buah hati di rumah?” 
Pertanyaan Bunda Arifah mungkin juga diamini sebagian besar bunda yang memutuskan menjadi full time mom. Pertanyaan yang muncul setelah melihat realitas kehidupan rumah tangga yang dijalani.
“Saya sering menghadapi situasi, di mana saat saya dibuat begitu sibuk dengan pekerjaan rumah. Sedangkan suami kadang tidak merasa perlu turun tangan untuk membantu. Lupakan urusan tetek bengek rumah, biar itu porsi bunda saja yang memang diam di rumah. Minimal secara otomatis (tanpa harus diminta) ayah dapat mengambil alih tugas mengurus keperluan anak-anak, terutama balita yang belum 100% mandiri. Hal yang sejatinya merupakan kewajiban ayah juga. Tapi apa mau dikata, sulit untuk seorang ayah mengambil peran itu lantaran keterbatasan prioritas. Buat ayah, kadang waktu istirahatnya demikian berharga untuk diganggu gugat, meski untuk urusan anak. Menghadapi situasi ini, seringkali saya kehilangan emosi dan kehilangan nilai ibadah atas semua yang saya kerjakan karena jengkel. Apa daya bunda cuma manusia. Walaupun kadang saya berhasil mengontrol diri dan melihat semuanya sebagai ladang amal yang amat luas dan menghasilkan. Tapi anak-anak, kan, berhak akan waktu ayahnya untuk ikut ambil bagian mengurusi mereka. Banyak kegiatan sederhana tanpa biaya yang dapat dilakukan ayah bersama anak-anak di rumah yang bisa membuat mereka bahagia dan lebih cerdas emosinya dengan partisipasi ayah yang all out”, papar Bunda Arifah.
Sebuah pengakuan yang jujur dari seorang bunda. Yang mungkin juga merupakan kepanjangan lidah para bunda terutama full time mom. Sebuah pengakuan yang menunjukkan kerinduan akan partisipasi ayah dalam mengasuh dan mendidik anak-anak.
Memang, dalam pandangan banyak orang, ketaatan bagi perempuan (baca: ibu/bunda) adalah mengabdikan seluruh hidupnya untuk suami dan anak-anak. Dan bagi laki-laki, ia bertugas mencari  nafkah dengan bekerja di luar rumah. Pembagian kerja rumah tangga yang dianggap fixed dan tidak bisa diubah akibat ketimpangan pandangan atas relasi laki-laki dan perempuan. Mengasuh dan mendidik anak-anak, mulai memandikan, menyuapi, mengajaknya bermain, menidurkan dan menyusui adalah tugas ibu. Bahkan bila anak sudah memasuki usia sekolah, tugas ibu bertambah dengan mengantar dan menjemputnya ke dan dari sekolah, menemani belajar dan mengerjakan Pekerjaan Rumah (PR),mengambil rapor, atau apapun yang berhubungan dengan sekolah.
Betulkah Islam mengatur pembagian kerja dalam keluarga seperti itu? Islam secara tegas tidak membedakan fungsi penciptaan perempuan dan laki-laki. Al Quran menjelaskan bahwa diciptakannya laki-laki dan perempuan adalah untuk beribadah kepada Allah (QS. 51: 56). Karena fungsi penciptaan yang sama, maka tugas kemanusiaan laki-laki dan perempuan juga sama. Al Quran sama sekali tidak membedakan kewajiban laki-laki dan perempuan dalam hal shalat, puasa, haji dan zakat (QS. 24 : 56 ; QS. 33 : 33 ; QS. 2 : 183QS. 3 : 97)
                Al Quran dan hadis juga tidak membedakan pekerjaan publik dan domestik. Hal ini, salah satunya diisyaratkan, bahwa Rasulullah sebagai pembawa ajaran Islam dan berjenis kelamin laki-laki, tidak anti pekerjaan rumah tangga. Hamudah dalam buku Al Rasul fi Al Bayt  --sebagaimana dikutip Istiadah dalam Pembagian Kerja Rumah Tangga dalam Islam (1999) -- menegaskan bahwa Rasulullah sering membantu keluarganya, menjahit bajunya yang robek, alas kakinya yang putus, memeras susu kambing dan melayani dirinya sendiri. Beliau bahkan membantu keluarganya dalam tugas-tugas mereka.
Lalu hanya di pundak bunda kah tanggung jawab akan pengasuhan dan pendidikan anak-anak? 
Pendidikan Anak, Tanggung Jawab Ayah dan Bunda
                Tugas menyiapkan generasi penerus yang berkualitas adalah tugas bersama antara ayah dan bunda. Al Quran memerintahkan agar ayah dan bunda mempersiapkan generasi yang berkualitas dan takut akan hadirnya generasi yang lemah.
                Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah. Yang mereka khawatir terhadap (kesjahteraan) mereka” (QS. 4: 9)
Ayat ini mengisyaratkan bahwa ayah dan ibu sama-sama bertanggung jawab atas generasi penerusnya. Tanggung jawab itu harus dipikul bersama-sama dan tidak ada yang lebih ditekankan siapa yang akan menanganinya. Bahkan Islam menekankan peranan ayah dalam mendidik anak. Bila sementara ini masyarakat kita selalu menekankan pendidikan anak hanya di pundak ibu, hal ini tidak sejalan dengan al Quran, karena kisah Luqman dan kisah kerelaan Ismail untuk disembelih atas perintah Allah oleh ayahnya, Ibrahim, menunjukkan bahwa ayah mempunyai peran strategis dalam pengasuhan dan pendidikan anak.    
Bercermin pada Rasulullah SAW 
                Rasulullah adalah teladan dalam menjalani  biduk rumah tangga. Ketika Abdullah bin Umar dan dua orang kawannya menemui ‘Aisyah dan memintanya bercerita tentang Nabi saw,  ‘Aisyah menarik nafas panjang. Kemudian dia menangis seraya berkata lirih: “Ah, semua perilakunya memesonakan”. Abdullah mendesak lagi, “ceritakan kepada kami yang paling memesonakan dari semua yang pernah Anda saksikan”. Barulah ‘Aisyah menceritakan sepotong kisah indah bersama Rasulullah saw.  “Pada suatu malam, ketika dia tidur bersamaku dan kulitnya sudah bersentuhan dengan kulitku, dia berkata, “Ya ‘Aisyah, izinan aku beribadat hepada Tuhanku”. Aku berkata, “Aku sesungguhnya senang merapat denganmu; tetapi aku juga senang melihatmu beribadat kepada Tuhanmu”….
                Bagi ‘Aisyah, istri sang Rasul, seluruh perilaku Rasul memesonakan. Sosok suami teladan. Dia mengutip saat Nabi saw, manusia paling mulia, meminta izin kepadanya untuk beribadat di tengah malam. Permintaan izin itu terkandung makna penghormatan, perhatian, dan kemesraan. Apalagi yang lebih indah yang diperoleh seorang istri dari suaminya selain itu?
                Rasulullah juga teladan dalam pengasuhan dan pendidikan anak-anaknya. Rasul mengungkapkan kasih sayang kepada anak-anaknya tidak saja secara verbal, seperti memanggil putrinya Fathimah dengan sebutan “Ummu Abiha” (ibu yang merawat  bapaknya) sebagai penghormatan atas kekhidmatan Fathimah. Rasul pun mengungkapkan kasih sayangnya dengan perbuatan. Bila Rasul berada dalam majlis dan melihat Fathimah datang, beliau segera bangkit. Tidak jarang beliau mencium tangan Fathimah di hadapan sahabat-sahabatnya. Kadang beliau mencium dahi Fathimah seraya berkata, “Bila aku merindukan bau surga, aku mencium Fathimah”.
                Ketika  berkhutbah, beliau melihat Hasan dan Husein berlari dengan pakaian yang menarik perhatian. Beliau turun dari mimbar, mengangkat mereka dan meneruskan khutbah dengan kedua cucunya dalam pangkuan. Beliau berkata, “Mereka adalah penghulu para remaja di surga”. Ketika dalam shalat, pernah beliau memanjangkan sujudnya hanya karena tidak ingin mengganggu Hasan dan Husein yang berada di atas punggungnya. Di kali lain, beliau pun pernah mempercepat shalat jamaahnya ketika terdengar tangisan anak-anak di belakang.
                Suatu hari, sahabat Umar menemukan Rasul merangkak di atas tanah, sementara dua anak kecil berada di atas punggungnya. Umar berkata, “Hai anak-anak, alangkah indahnya tungganganmu itu”. Yang ditunggangi menjawab, “alangkah indahnya para penunggangnya!”. Suasana ini menunjukkan kedekatan Rasul dengan cucu-cucunya. Rasul mencintai mereka dan dengan jelas mengungkapkan kecintaannya itu.
Ketika Rasulullah menggelari Fathimah “Ummu Abiha”, beliau memberikan sanjungan atas kekhidmatan Fathimah. Ketika Rasul bermain dengan Hasan dan Husein, beliau sedang memberikan contoh permainan imajinatif. Ketika memeluk Hasan dan Husein seraya berkata “Ya Allah aku mencintai mereka”, dan ketika mencium Fathimah seraya berkata “Bila aku rindu bau surga, aku mencium Fathimah”,  beliau sedang mengkomunikasikan kasih sayang kepada anak-anaknya.
Kali lain, Ummu Al Fadhl bercerita: ”Suatu ketika aku menimang seorang bayi. Rasul saw kemudian mengambil bayi itu dan menggendongnya. Tiba-tiba sang bayi pipis dan membasahi pakaian Rasul. Segera saja kurenggut secara kasar bayi itu dari gendongan Rasul.  Rasul pun menegurku: “pakaian yang basah ini dapat dibersihkan oleh air. Tetapi apa yang dapat menghilangkan kekeruhan dalam jiwa sang anak akibat renggutanmu yang kasar itu?”. Rasul saw tidak ingin rasa “rendah diri” atau “berdosa” menyentuh jiwa anak tersebut yang dapat dibawanya hingga dewasa.
Begitulah Rasul.  Ia adalah suami teladan. Ia Super Dad bagi anak-anaknya dan anak-anak seluruhnya. Rasul –dalam hal-hal tertentu-- bahkan tidak membedakan perlakuannya terhadap anak dan orang dewasa, seperti dalam mengucapkan salam. Ucapan salam pada anak minimal memberi dua dampak positif bagi perkembangan jiwanya. Pertama, menanamkan rasa rendah hati. Kedua menanamkan rasa percaya diri akibat “penghormatan” yang diperolehnya.    
Pentingnya Figur dan Keteladanan Ayah
                Hasil penelitian para ahli menunjukkan bahwa partisipasi ayah dalam mendidik anak sangat penting. Penelitian yang dilakukan Frank Anderson dari Amerika – sebagaimana dikutip Istiadah (1999) – menemukan bahwa anak yang diajak bermain oleh ayahnya mencapai angka yang lebih tinggi dalam uji kemampuan kognitif. Sedangkan anak perempuan yang diasuh dan dicintai oleh ayahnya akan lebih bisa memandang dunia sebagai tempat yang menarik dan mempesona. Dalam penelitian lain, keberadaan ayah pada saat kelahiran anaknya menjadi titik awal dibangunnya emosi yang erat antara ayah dan anak. Semakin sering anak hadir dan melakukan kegiatan bersama ayah, semakin besar pula keinginan anak akan kehadiran ayahnya. Selanjutnya dikatakan bahwa pengasuhan ayah akan memberikan warna dan secara tidak langsung meningkatkan perkembangan kepribadian anak yang sangat berguna ketika mereka harus bergaul dengan lawan jenisnya.
Imam Suprayogo (2010), Rektor UIN Malang, ketika membicarakan tentang pendidikan karakter menyatakan bahwa generasi Indonesia saat ini termasuk kategori kurang beruntung, karena miskin keteladanan. Padahal satu keteladanan lebih dahsyat pengaruhnya dibanding seribu nasihat. Pendidikan tak kan pernah mencapai kesejatiannya tanpa keteladanan.
Begitupun dengan peran ayah. Menjadi teladan, adalah salah satu hal tersulit yang dihadapi para ayah. Bicara dengan fasih tentang ini itu, adalah salah satu keterampilan utama para ayah yang sejak lama dikenal sebagai komunikator hebat. Tapi mewujudkannya dalam bentuk riil, mudah dilihat dan dijadikan sebagai model hidup, tanpa perlu teori panjang lebar, masih perlu banyak latihan. Para ayah yang perokok berat, tentu tak berharap anak-anaknya kelak menjadi “ahli hisab” (gemar menghisab asap, maksudnya). Nasehat “Jangan sekali-sekali merokok ya Nak, tidak baik untuk kesehatan, boros lagi, kan boros teman syetan, ” yang diberikan kepada sang anak dengan lemah lembut tapi di bibir masih terselip lintingan tembakau 9 cm, tentu hanya akan dianggap lelucon. Petuah untuk rajin belajar, gemar membaca dan mengurangi menonton televisi akan terasa hambar, bila sang ayah justeru tak boleh terganggu sedetikpun dari tayangan kegemarannya, dan jarang terlihat membuka buku. Ajakan ayah untuk bersikap sabar dan menghindari marah, pada kakak dan adik yang sedang bertengkar, tapi disampaikan dengan mata melotot, suara keras, dan gerakan tangan untuk menjewer, tentu susah dipahami substansinya oleh sang anak.
Untuk menjadi ayah yang sukses, faktor  keteladanan ayah sangat berpengaruh pada pendidikan anak, karena pada tahap awal anak belajar dengan cara meniru. Ayah lah yang pertama menjadi teladan untuk urusan akidah, ibadah, akhlak, muammalah, dan segala hal yang ingin diajarkan pada anaknya. Keteladanan sangat membantu dalam pembentukan karakter, dan bisa jadi sangat menghemat tenaga. Tak perlu banyak cakap, anak adalah peniru yang hebat. “Pengaruh perbuatan satu orang terhadap seribu orang lebih besar daripada pengaruh ucapan seribu orang kepada satu orang.,” tulis Adil Fathi Abdullah menggambarkan kekuatan keteladanan dalam “Kaifa Tushbihu Aban Naajihan (Menjadi Ayah yang Sukses)”— sebagaimana dikutip Subhan Afifi (2010).  
Kita tentu tetap berharap menjadi ayah teladan bagi anak-anak kita, minimal menjadi sahabat bagi mereka, karena anak-anak belajar  dari kehidupan yang dijalaninya. ”Jika anak dibesarkan dengan kasih sayang dan persahabatan, ia belajar menemukan cinta dalam kehidupan” tulis Dorothy Law Nolte dalam sajaknya “Children Learn What They Live”. Kita terus berharap menjadi ayah harapan anak-anak. “Aku Mau Ayah” tulis Iwan Rinaldi. Pun tetap berharap menjadi ayah yang dibanggakan. “My Dad  My Pious Dad (Ayahku Ayah yang Saleh)” tulis Arsil Ibrahim (2008), “Ayah Sejati, Semua Ayah adalah Bintang” tulis Neno Warisman.
Dan kita pun berharap bunda menangis haru bahagia seperti ‘Aisyah kala menceritakan Muhammad Sang Rasul, suaminya.
Untuk para bunda, mari kita mengemban bersama amanah ini hingga kita mampu mempertanggungjawabkannya  bersama pula di hari nanti. Selamat Hari Ibu.  Wallahu a’lam. (dari berbagai sumber)
* Guru PAI dpk pada SDN Kebulen 3 Jatibarang Indramayu
05/11/2010
14:26

Tidak ada komentar:

Posting Komentar