Perangkat Pembelajaran

Senin, 17 September 2012

RASULULLAH (PUN) BERHAJI HANYA SATU KALI

RASULULLAH (PUN) BERHAJI HANYA SATU KALI OLEH : AHMAD FAOZAN, S.Ag Diposkan oleh Majalah Media Pembinaan Kantor Wilayah Departemen Agama Provinsi Jawa Barat, November 2009 Sabtu, 25 Zulqa’dah 10 H, Rasulullah berkemas, menyiapkan bekal perjalanan, menyiapkan minyak wangi dan mengenakan mantel. Sebelum berangkat, beliau mengumumkan kepada para sahabat. Tak kurang 125 ribu orang turut serta Selepas zuhur, Rasulullah beserta rombongan berangkat dari Madinah dan tiba di Zulhulaifah sebelum ‘asr. Tempat ini masih berbentuk lembah. Jaraknya dari Madinah kurang lebih 10 km. Rasululah lalu salat asar dan tetap di sana hingga keesokan harinya. Pagi-pagi beliau bersabda kepada para sahabat, “semalam aku didatangi utusan dari Rabb ku yang menyatakan, “salatlah di lembah yang penuh barakah ini dan katakan “umrah beserta haji”. Maksudnya haji yang akan dilaksanakan ini disertai dengan umrah. Sebelum zuhur Rasulullah mandi untuk ihram. Kemudian istrinya, Aisyah memercikkan minyak wangi ke tubuh dan kepala beliau. Tetesan minyak wangi itu terlihat meleleh di anak rambut dan jenggot. Rasulullah hanya membiarkan saja dan tidak mengelapnya. Setelah itu beliau mengenakan mantel dan selendang. Senin, 4 Zulhijjah, dengan menunggang unta, beliau bersama rombongan sampai di Mekkah. Perjalanan ditempuh selama delapan hari. Memasuki Masjidil Haram, beliau langsung melaksanakan rukun-rukun haji. Pertama-tama beliau melaksanakan tawaf ifadah, mengelilingi ka’bah, lalu disusul sa’I (lari-lari kecil) antara Safa dan Marwa. Pagi hari tarwiyah, Rasulullah pergi ke Mina sampai subuh. Selepas subuh beliau menunggu mentari terbit. Lalu melanjutkan perjalanan ke padang Arafah untuk wukuf. Tenda-tenda sudah didirikan di sana. Perlahan Rasulullah berjalan memasuki tenda yang sudah disiapkan. Setelah matahari tergelincir Rasulullah menuju ke tengah padang Arafah. Sudah hadir sekitar 144 ribu orang. Mereka menunggu khutbah yang akan disampaikan oleh Rasulullah sore itu. Beliau berdiri “Wahai semua manusia, dengarkanlah perkataanku! Aku tidak tahu pasti, boleh jadi aku tidak akan bertemu kalian lagi setelah tahun ini dengan keadaan seperti ini”. Para sahabat terdiam. “Sesungguhnya darah dan harta kalian adalah suci seperti kesucian hari ini…” lanjut Rasulullah. Beliau menyampaikan pesan akan tauhid, berpegang teguh kepada Al-Quran, kewajiban salat, zakat, haji dan kewajiban mematuhi ulil amri (pemerintah). “Tentunya kalian bertanya-tanya tentang diriku. Lalu apa yang kalian katakan?” Para sahabat menjawab, “Kami bersaksi bahwa engkau telah bertablig, menyampaikan pesan Allah, melaksanakan kewajiban dan memberi nasihat”. Mendengar teriakan sahabat ini, Rasulullah mengacungkan jari telunjuknya ke langit dan mengarahkannya ke orang-orang. “Ya Allah saksikanlah, Ya Allah saksikanlah, Ya Allah saksikanlah”. Katanya dengan suara keras. Tak dinyana, usai pidato, turun ayat 3 surat Al-Maidah. “Pada hari ini telah Aku sempurnakan untuk kalian agama kalian, dan Aku cukupkan atas kalian nikmat-Ku dan aku ridai bagi kalian Islam sebagai agama kalian”. Rasulullah membacakannya kepada para sahabat. Mereka menyambut dengan gegap gempita. Sorak kegembiraan membahana di padang Arafah. Namun di antara kerumunan sahabat, Umar bin Khattab malah menangis. Sahabat di sampingnya pun heran. “Mengapa engkau menangis?” Tanya sahabat itu. Umar dengan suara lirih menjawab, “Sungguh, setelah kesempurnaan itu hanya kekurangan”. Di sudut lain, seseorang juga sedang berderai air mata mendengar ayat ini. Dialah sahabat terdekat Rasulullah, Abu Bakar. Ia menangis karena dengan perasaannya yang halus ia memahami bahwa dengan ayat ini tugas Rasulullah telah selesai. Itu artinya tidak lama lagi Sang Rasul yang dicintai akan meninggalkan dunia, meninggalkan para sahabat. Manusia terbaik akan kembali ke haribaan Allah SWT. Dan hal itu benar adanya, karena sepulang haji, beliau sakit selama 13 hari hingga wafat pada 12 Rabiul Awwal tahun 11 H. Haji yang hanya dilaksanakan Rasulullah itu kemudian disebut haji wada’, haji perpisahan. Haji pertama dan terakhir baginya. Sejarah mencatat, ibadah haji disyari’atkan pada tahun ke 6 H. Artinya Rasulullah saw sebetulnya memiliki kesempatan beribadah tiga kali, namun beliau menjalaninya hanya sekali. Dalam pandangan fiqih, melaksanakan kewajiban ibadah haji hanya satu kali seumur hidup. Rasulullah bersabda: “Hai manusia, Allah telah mewajibkan haji kepadamu, maka laksanakanlah haji”. Seorang laki-laki bertanya: “Apakah setiap tahun ya Rasulallah? Rasulullah terdiam, hingga laki-laki itu bertanya tiga kali, lalu Nabi menjawab: “Andai kukatakan wajib setiap tahun, maka ia menjadi wajib dan kamu tidak akan mampu mengerjakannya”. Keinginan umat Islam, di Indonesia khususnya, untuk melaksanakan rukun Islam kelima ini semakin tahun semakin tinggi. Terbukti beberapa tahun terakhir, terdapat daftar tunggu (waiting list) calon jamaah haji akibat melebihi kuota yang ditentukan, termasuk mereka yang telah menunaikan pada tahun-tahun sebelumnya. Ada fakta penelitian di Indonesia, menunjukkan bahwa 4 % jamaah haji setiap tahun adalah haji mengulang, kedua, ketiga, keempat dst. Andai kuota haji pada tahun ini 200 ribu orang, berarti 8 ribu orang haji mengulang dengan biaya milyaran rupiah. Lahirnya Keputusan Menteri Agama Nomor 88 tahun 2005 tentang Larangan Pergi Haji bagi mereka yang sudah berhaji kecuali sebagai muhrim atau badal haji, sangatlah penting untuk penyelenggaraan haji pada tahun-tahun mendatang dan memberi kesempatan bagi umat Islam yang mampu dan belum menunaikan ibadah ini. Mengacu pada ajaran Islam, ibadah dapat dikategorikan atas ibadah qasirah dan ibadah muta’adiyah. Ibadah qasirah adalah ibadah individual yang keuntungannya hanya dirasakan pelakunya. Sedangkan ibadah muta’adiyah adalah ibadah sosial yang manfaatnya dapat dirasakan oleh pelakunya bersama-sama orang lain. Dari dua kategori ini, haji termasuk ibadah individual. Ketika ibadah individual dan ibadah sosial terjadi pada saat bersamaan, Rasulullah pun lebih mengutamakan ibadah sosial. Di sinilah keterkaitan kisah di awal tulisan ini, kita mungkin bertanya: Mengapa Rasulullah saw melaksanakan ibadah haji hanya satu kali? Sekiranya haji berkali-kali itu baik, tentu beliau lebih dahulu mengerjakannya sebagai teladan bagi umatnya. Ali Mustafa Ya’qub, Profesor Hadis dan Ilmu Hadis dalam bukunya “Haji Pengabdi Setan” merasa perlu menegur sebagian umat Islam Indonesia yang kemaruk haji. Secara formal, menurutnya, mereka melaksanakan haji untuk kedua kali dan seterusnya adalah sunnah. Namun dalam perspektif kontemporer boleh jadi haji ulang tidak lagi bernilai sunnah. Jumlah jamaah haji Indonesia yang tiap tahun di atas 200 ribu, sekilas memang membanggakan. Akan tetapi bila ditelaah lebih jauh, kenyataan ini justru memprihatinkan karena sebagian dari jumlah itu sudah beribadah haji berkali-kali. Dengan fakta ini berarti umat Islam Indonesia tidaklah miskin. Namun fakta lain juga memperlihatkan kalau angka kemiskinan di tanah air tetap tinggi. Maka bisa jadi kepergian haji ulang bukan lagi sunah. Saat ribuan anak yatim terlantar, sejumlah tempat ibadah rusak, bangunan pesantren terbengkalai, puluhan ribu orang menjadi tuna wisma akibat bencana, juga jutaan orang masih berjuang melawan kelaparan, lalu ada orang pergi haji untuk kedua atau ketiga kali dst, bagaimanapun, hati nuraninya patut dipertanyakan: apakah hajinya demi melaksanakan perintah Allah atau karena mengikuti bisikan setan agar di mata orang awam dianggap saleh? Wakil Ketua Komisi Fatwa MUI ini menegaskan, ibadah haji seseorang yang dimotivasi rayuan setan bukan lagi ibadah, melainkan maksiat dan pada saat itulah tipologi haji pengabdi setan melekat pada dirinya. Wallahu a’lam Penulis adalah Guru PAI dpk pada SDN Kebulen III Jatibarang Indramayu dan Ketua KKG PAI Kec. Jatibarang. Peraih Juara III Lomba Nasional Inovasi Pembelajaran PAI SD Tahun 2009 Balai Litbang dan Diklat Depag RI.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar