Perangkat Pembelajaran

Senin, 17 September 2012

REFLEKSI HIKMAH ISRA MI’RAJ Perspektif Sufistik


REFLEKSI HIKMAH ISRA MI’RAJ
Perspektif Sufistik

Oleh : Ahmad Faozan, S.Ag
(Guru PAI pada SDN Kebulen III Jatibarang Indramayu) 

Diposkan oleh Majalah Media Pembinaan Kantor Wilayah Departemen Agama Provinsi Jawa Barat, Juli 2008


Zaman sekarang, disamping ditandai dengan derasnya arus informasi dan dahsyatnya perkembangan teknologi, ternyata juga diwarnai arus baru di tengah masyarakat dunia, yakni kerinduan pada kesejukan batin dan kedamaian jiwa.
Beberapa dekade terakhir ini kita menyaksikan adanya kebutuhan baru yang besar akan spiritualitas, baik di dunia secara umum maupun umat Islam. Bahkan kebutuhan ini lebih dulu muncul di negara-negara maju dibanding negara-negara berkembang. Di Amerika Serikat, misalnya,  sudah terasa kuat sejak tahun 1960-an dengan maraknya budaya hippies yang memberontak terhadap nilai-nilai kemapanan. Mereka mencari-cari alternatif baru. Ada yang positif, misalnya ketika mereka pergi ke India untuk mempelajari yoga dan Hinduisme. Tapi tidak sedikit pula yang tampak negatif dengan munculnya beragam bentuk kultus (cult).
            Di Indonesia kecenderungan itu mulai tampak sekitar tahun 1980an. Ada semacam kegairahan beragama di hampir semua kalangan mulai orang-orang awam hingga terpelajar dan elit muslim. Laris manisnya buku-buku keagamaan, munculnya kajian-kajian tasawuf, ketertarikan pada tarekat-tarekat hingga fenomena suksesnya berbagai kegiatan zikir.
            Di antara alasan yang mendorong munculnya kebutuhan akan spiritualitas adalah berantakannya sistem nilai dunia modern, rasa tak aman menghadapi masa depan dan kerinduan pada visi dunia spiritual dalam lingkungan yang semakin merosot kualitasnya. Kegandrungan ini sekaligus mencerminkan kegagalan modernisasi dan formalisme agama-agama mapan.   
            Pertanyaannya kemudian bentuk spiritualitas seperti apa yang mereka perlukan? Kenyataan menunjukkan bahwa ketertarikan terhadap tasawuf –bentuk spiritualisme Islam-  makin lama makin besar. Hanya saja tasawuf yang mana?
Tasawuf sering dituduh sebagai penyebab kemunduran umat Islam selama lebih dari lima abad karena dianggap menjauhi atau mengabaikan kehidupan duniawi. Hidup miskin tak mempunyai apa-apa dan sederhana, tetapi memiliki hati yang baik dan mulia adalah sifat-sifat ideal yang terpuji yang dianggap milik para sufi. Contoh hidup seperti ini adalah hidup ahlussufah yakni orang-orang yang hijrah bersama Nabi SAW dari Mekkah ke Madinah yang –karena kehilangan harta- mereka menjadi miskin dan papa. Mereka tinggal di teras masjid Nabi dan tidur di atas bangku batu dengan memakai pelahna (shuffah). 
            Kesan bahwa tasawuf mengabaikan kehidupan duniawi juga dikuatkan oleh ajaran tentang zuhud, suatu sikap biarawan atau rahib-rahib yang menyangkal kehidupan dunia dengan harapan bisa menyucikan diri dan kemudian bisa bertemu dengan Tuhan. Konsep zuhud yang diidentikkan dengan asketitisme ini pada gilirannya melahirkan konsep baru yakni faqr (kefakiran). Untuk bisa mendekat kepada Allah dan bertemu dengan-Nya seseorang haruslah menjadi orang fakir. Lebih  lebih lagi bila menyebabkan seseorang bersikap fatalis dan menjauh dari realitas sosial. Menjadi zahid akhirnya bak hidup di atas menara gading yang lebih mementingkan kesucian diri tanpa peduli terhadap lingkungan.
            Zuhud seharusnya dimaknai bukan dengan menolak kehidupan duniawi dan segala kesenangannya. Anjuran berzuhud sebenarnya dilatarbelakangi oleh keyakinan bahwa manusia cenderung terlalu menikmati hal-hal material duniawi (yang mubah) sehingga akhirnya terjerumus pada sikap berlebihan.
Islam tidak pernah menghadapkan aspek badani-duniawi dengan aspek ruhani-ukhrawi. Bahkan dunia –bila diperlakukan dengan benar- adalah jembatan bagi kita untuk mendapat kebahagiaan akhirat. Rasulullah saw pun menyatakan dengan kalimat yang lugas “ad dunya mazra’atul akhirah” dunia adalah mazra’ah (ladang) untuk akhirat.
            Bila kita mengambil ‘ibrah dari isra mi’raj, peristiwa ini dalam kehidupan ruhani Muhammad SAW memiliki arti yang sangat tinggi dan agung. Jiwa yang kuat ini dipersatukan oleh kesatuan wujud pada puncak kesempurnaannya. Tak ada tabir ruang dan waktu atau apapun yang dapat merintangi sang Nabi. Al-Quran menyebutkan jaraknya dua busur panah atau lebih dekat lagi (QS. An-Najm (53) : 8-9) dari haribaan Tuhan.  Ia mendapat pengalaman puncak bertemu “muka” dengan Allah –pengalaman “menyatu” dengan Allah yang merupakan ideal bagi kaum sufi- dalam peristiwa gaib itu.
            Tapi Muhammad, sang Sufi Teragung, “memilih” untuk kembali ke dunia dan mengimplementasikan “persatuannya” dengan Allah itu dalam bentuk kekuatan revolusioner untuk memberdayakan rakyatnya (baca: sahabat) dan mengembalikan hak-hak mereka yang terampas. Muhammad juga melakukan pekerjaan profan yang dapat dilakukan; mengurus administrasi pemerintahan, mengembangkan ekonomi dan pemerataanya mendorong sahabatnya untuk belajar, bahkan berperang jika agresi berada di depan mata.
            Sejatinya demikianlah sufi. Ia adalah seorang reformer sejati. Di malam hari, ia menjadi rahib tetapi di siang hari ia menjadi ksatria-ksatria dan pejuang-pejuang sosial yang melakukan reformasi untuk perbaikan kualitas masyarakatnya.
Wallahu a’lam bish shawab

Daftar Pustaka
Asy-Sya’rawi, Syekh Muhammad Matawali, Menyingkap Misteri Isra dan Mi’raj, Terj: As’ad Yasin, Surabaya: CV. Karya Utama, tt

Bagir, Haidar, Buku Saku Tasawuf, Bandung: PT. Mizan Pustaka, cet. II, 2006

Haekal, Muhammad Husain, Sejarah Hidup Muhammad, Terj: Ali Audah, Jakarta: PT. Pustaka Litera Antar Nusa, cet. XXIII, 2006

Noer, Kautsar Azhari, Tasawuf Perenial, Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, cet I, 2003

Shihab, M. Quraish, DR., “Membumikan” Al-Quran, Bandung: Penerbit Mizan, Cet. II, 1992

Shihab, M. Quraish, DR., Lentera Hati, Bandung: Penerbit Mizan, Cet. VI, 1996





06/07/2007

Tidak ada komentar:

Posting Komentar