Perangkat Pembelajaran

Senin, 17 September 2012

MENCARI MODEL ALTERNATIF PEMBELAJARAN AL-QURAN BAGI ANAK

MENCARI MODEL ALTERNATIF PEMBELAJARAN AL-QURAN BAGI ANAK Oleh : Ahmad Faozan, S. Ag Diposkan oleh Majalah Media Pembinaan Kantor Wilayah Departemen Agama Provinsi Jawa Barat, Juli 2009 Al-Quran merupakan pedoman hidup bagi umat Islam. Oleh karena itu, di kalangan umat Islam al-Quran telah diperkenalkan kepada anak-anak sejak kecil. Berbagai metode membaca al-Quran telah banyak diciptakan dan digunakan. Sebut saja misalnya Baghdady, Qiraati, Iqra’, an-Nur, dsb. Berbagai metode ini banyak digunakan berbagai kalangan baik di TPA TPQ, MDA bagi anak-anak, majlis-majlis ta’lim bagi muslim dewasa atau dengan memanggil ustaz ke rumah (privat). Permasalahannya kemudian, menurut penulis, pembelajaran al-Quran selama ini (terutama bagi anak-anak) masih terpaku pada cara membaca huruf-huruf al-Quran, belum menyentuh pada cara menghayati makna al-Quran, apalagi menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Kalaupun terjemah al-Quran diajarkan, hanya terbatas pada hafalan semata. Memang, mendidik agar anak mampu menghayati makna al-Quran bahkan menerapkannya dalam aktivitas keseharian mereka (dan kita umat Islam) merupakan ideal . Tetapi, sebagai pedoman hidup, seyogyanya al-Quran diperkenalkan sejak dini sesuai dengan perkembangan psikologis anak dengan cara-cara yang menyenangkan sekaligus mengajak mereka menyelami firman Allah Yang Mahakasih. Model Pembelajaran Al-Quran Jami’atul Quran Adalah Sayyid Muhammad Husein Tabataba’i yang menjadi inspirasi bagi ayahnya Sayyid Muhammad Mahdi Tabataba’i untuk mendirikan Jamiatul Quran (1998), sekolah penghafal al-Quran anak-anak yang amat populer di Iran. Ia dilahirkan di kota Qum Iran pada tahun 1991. Sejak berusia amat belia, ia dianugerahi Allah swt sebuah kemampuan luar biasa: menghafal seluruh isi al-Quran pada usia 5 tahun, bisa menerjemahkan arti setiap ayat ke dalam bahasa ibunya (bahasa Persia), memahami makna ayat-ayat tersebut dan bisa menggunakan ayat-ayat itu dalam percakapan sehari-hari. Bahkan ia mampu mengetahui dengan pasti di halaman berapa letak suatu ayat, di baris ke berapa, di kiri atau di kanan halaman al-Quran. Ia disebut-sebut sebagai mukjizat abad 20. Bahkan tahun 1998, bocah yang baru berusia 7 tahun ini mendapat gelar Doktor Honoris Causa dalam bidang “Science of The Retention of The Holy Quran” dari Hijaz College Islamic University Birmingham Inggris. Kehebatan Husein memang fenomenal. Karenanya tidak mengherankan fenomena Husein ini membangkitkan semacam histeria pada masyarakat Iran dan kawasan Timur Tengah lainnya. Selama ini, mereka –masyarakat Iran— (dan kita) hanya mengetahui lewat buku-buku sejarah bahwa ulama zaman dahulu sudah mampu menghafal al-Quran pada usia dini. Kini mereka dapat menyaksikan sendiri, hal itu dapat terwujud sekarang lewat sosok Husein. Maka Sayyid Muhammad Mahdi pun mendirikan sebuah sekolah hafalan al-Quran bagi anak-anak. Jamiatul Quran –nama sekolah itu- didirikan pertama kali di jantung kota Qum, dekat rumahnya, tidak lama setelah Husein meraih gelar Doktor HC. Sekolah ini menjadi sangat terkenal di seantero Iran, tentu saja karena keberadaan “the amazing child” sebagai ikonnya. Bagi sang ayah, pendirian sekolah ini merupakan parameter untuk mengukur efektifitas metode pembelajaran hafalan Quran yang ia temukan bagi anak-anak lain. Metode yang diterapkan dalam pembelajaran al-Quran di sekolah ini adalah metode isyarat tangan yang dipadukan dengan metode bermain (demonstrasi) dan metode cerita bergambar. Metode isyarat tangan digunakan dalam melafalkan kata per kata ayat al-Quran. Misalnya, ketika mengajarkan ayat tentang kebersihan “Wa Llahu yuhibbu l muttahhirin” (QS. 9: 108), maka anak diajak melafalkannya dengan memperagakan isayat tangan. Guru melafalkan “Wa” sambil mengayunkan tangan setengah lingkaran membentuk isyarat kata “wa” (artinya “dan”) yang diikuti anak-anak. “Allahu” sambil menunjukkan telunjuk ke atas (bermakna Allah). “Yuhibbu” diisyaratkan dengan kedua tangan seolah-olah memeluk sesuatu (bermakna mencintai). “Muttahhirin” diisyaratkan dengan memperagakan gerakan orang yang sedang menggosok-gosok tangan ketika mandi (bermakna orang-orang yang bersih). Begitu seterusnya dengan diikuti oleh anak-anak. Selanjutnya kata-kata pada ayat tadi diganti dengan arti kata sambil memperagakan isyarat tangan. Dalam bahasa Indonesia, ayat tersebut dapat diartikan dengan “dan” (tangan membentuk setengah lingkaran), Allah (menunjukkan ke atas), mencintai (tangan seolah-olah memeluk sesuatu), orang-orang yang bersih (lengan tangan dogosok-gosok seperti mandi). Metode isyarat tangan diatas dipadukan dengan metode bermain. Dengan bermain, anak-anak diajak mengulang-ulang ayat tersebut sampai hafal. Cara bermain, misalnya, bila jumlahnya 10 anak, sediakan 9 kursi berderet lalu anak-anak berlomba duduk di kursi, sehingga pasti ada satu anak yang tidak kebagian. Anak yang tidak kebagian kursi diperintah untuk membaca ayat dan artinya, tentu saja sambil memperagakan isyarat tangan. Metode isyarat tangan juga dapat dipadukan dengan cerita bergambar. Misalnya guru menyiapkan gambar anak yang sedang bermaafan dengan temannya kemudian bercerita. Selesai bercerita, guru mengajarkan ayat tentang perdamaian “Wa ssulhu khair” (QS. An-Nisa: 128). “Wa” (dan) sambil mengayunkan tangan membentuk setengah lingkaran, “sulhu”(perdamaian) sambil memperagakan saling menjabat kedua tangan, dan “khair”(baik) sambil mengacungkan jempol. Dengan model pembelajaran di atas, anak-anak diperkenalkan dengan dunia al-Quran yang menyenangkan sambil menghayati makna al-Quran serta menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Al-Quran bukan lagi sekedar huruf-huruf dengan bentuk dan bunyi yang asing bagi anak-anak. Belajar al-Quran bukan lagi dengan memaksa anak membaca huruf-huruf asing dengan doktrin ,”harus karena kamu beragama Islam”. Dalam proses pembelajaran, Jami’atul Quran sangat memperhatikan beberapa prinsip. Pertama, motivasi belajar al-Quran adalah untuk mendapat ketenangan dalam kehidupan sehari-hari. Belajar al-Quran idealnya adalah hamilil quran, lafzan wa ma’nan wa ‘amalan, membaca al-Quran dengan tajwid yang benar, memahami maknanya serta menerapkannya dalam keseharian anak didik. Belajar al-Quran adalah menyimpan kata demi kata “surat cinta” Sang Kekasih di benak dan hati kita. Kedua, tidak memaksa anak untuk hafal al-Quran. Karena terobsesi untuk menjadikan anak kita menjadi anak yang “hebat”, sebagian pendidik dan orang tua kadang lupa bahwa proses pembelajaran tidak mungkin berjalan dengan baik tanpa kemauan dan kesadaran anak didik. Prinsip ini berkaitan erat dengan prinsip selanjutnya, yakni ketiga, melakukan kegiatan yang menyenangkan (joyfull). Untuk menjauhkan dari pemaksaan namun pada saat yang sama tetap memotivasi anak agar menyukai belajar al-Quran adalah dengan melakukan kegiatan belajar yang menyenangkan. Keempat, belajar al-Quran dari ayat-ayat yang mudah dipahami dan diterapkan, misalnya ayat tentang berbuat baik pada orang tua, ucapkan salam, menjaga kebersihan. Kelima, keteladanan. Ayah Husein mengatakan : “ bila orang tua menginginkan anaknya menjadi pencinta al-Quran dan lebih lagi penghafal, langkah pertama yang harus dilakukan adalah orang tua harus mencintai al-Quran terlebih dahulu dan rajin mambaca al-Quran di rumah”. Penerapan Model Pembelajaran Jami’atul Quran di Indonesia Model pembelajaran yang menarik bagi anak-anak seperti di atas, tentu saja sangat menantang bagi kita di Indonesia. Apalagi model pembelajaran ini sangat aplicable dan menggunakan hampir seluruh kecerdasan. [Howard Gardner mengemukakan multiple intelligences pada tahun 1983. Intinya ia menyatakan bahwa kecerdasan manusia tidak hanya intelectual quotient (IQ) belaka. Manusia memiliki kecerdasan majemuk, yakni kecerdasan bahasa, logika matematik, musikal, kinestetis tubuh, spasial, naturalis, interpersonal, dan intrapersonal]. Tentu saja, kerja sama antara pendidik, orang tua dan lingkungan sangat penting dalam penerapannya di Indonesia. Rumah Quran di Bandung telah beberapa tahun menerapkan model ini. Dalam catatannya, kendala yang dihadapi adalah lingkungan yang kurang kondusif dalam pembelajaran Qurani. Kurangnya keteladanan orang tua di rumah dan pengaruh negatif media massa terutama televisi yang nyaris tanpa kendali. Akhirnya kita berharap akan muncul Husein-Husein baru di Indonesia. Anak-anak kita, cahaya-cahaya di akhirat, yang mampu mambaca al-Quran, memahami maknanya dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Wallahu a’lam DAFTAR BACAAN Hoerr, Thomas R., Buku Kerja Multiple Intelligences, Terj: Ary Nilandari, Bandung: Penerbit Kaifa, 2007, Cet. I Sulaeman, Dina Y., Wonderfull profile of Husein Tabatabai, Doktor Cilik, Hafal dan Paham Al-Quran, Jakarta: Pustaka IIMAN, 2007, cet. I

Tidak ada komentar:

Posting Komentar