Perangkat Pembelajaran

Selasa, 18 September 2012

KONTEKSTUALISASI KITAB MAULID AL BARZANJI


KONTEKSTUALISASI KITAB MAULID AL BARZANJI


Oleh : AHMAD FAOZAN, S.Ag
Guru PAI dpk SDN Kebulen III Jatibarang Indramayu


Diposkan oleh Majalah Media Pembinaan Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Jawa Barat, Februari 2011

"(Yaitu) orang-orang yang mengikut Rasul, Nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma'ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Maka orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (al-Qur'an), mereka itulah orang-orang yang beruntung." (QS. Al-A'raaf 7:157)

Kaum santri tentu akrab dengan kitab Barzanji. Karena hampir tiap minggu (biasanya malam jum’at) mereka membacanya di langgar atau masjid. Atau lebih sering di rumah tetangga yang sedang hajatan, misalnya aqiqah dan cukur rambut anak yang baru lahir. Barzanji juga sering dibaca saat peringatan Maulid (dialek jawa: Mulud) atau kelahiran Nabi pada 12 Rabi’ul Awwal. Dalam membacanya, ada yang dibaca datar dan ada juga bagian syair-syair yang dilagukan. Bahkan menariknya, bagian syair-syair dilagukan dengan lirik lagu yang sedang hit. Dibaca dalam posisi duduk atau sambil berdiri (mahal al qiyam).
Hingga sekarang, selain di pesantren, pembacaan Barzanji tetap hidup di banyak tempat, di desa atau kota. Bahkan belakangan beberapa bagian dari salawat diadopsi dalam industri rekaman yang laris manis.
Tradisi ini lebih dihidupi oleh kaum santri yang mengedepankan nilai-nilai sufisme dalam kehidupan dari pada formalisme agama. Mereka lebih suka menghayati pengalaman ruhani dari pada berteriak menyerukan formalisme syari’at dalam ruang Negara. Tradisi Barzanji menunjukkan dirinya bertahan secara kultural selama berabad-abad dalam pasang surut kekuasaan dan rezim politik apapun.

Sekilas Barzanji dan Biografi Penulisnya

Barzanji adalah karya tulis seni sastra yang isinya bertutur tentang kehidupan Muhammad. Secara garis besar, paparan Al Barzanji dapat diringkas sebagai berikut: (1) Silsilah Nabi adalah: Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muttalib bin Hasyim bin Abdul Manaf bin Qusay bin Kilab bin Murrah bin Fihr bin Malik bin Nadar bin Nizar bin Maiad bin Adnan. (2) Pada masa kecil banyak kejadian luar biasa pada dirinya. (3) Berniaga ke Syam (Suraih) ikut pamannya ketika masih berusia 12 tahun. (4) Menikah dengan Khadijah pada usia 25 tahun. (5) Diangkat menjadi Rasul pada usia 40 tahun, dan mulai menyiarkan agama sejak saat itu hingga umur 62 tahun. Rasulullah meninggal di Madinah setelah dakwahnya dianggap telah sempurna.
 Barzanji berakar dari nama keluarga ulama tarekat yang paling berpengaruh di Kurdistan bagian selatan, Syahrazur, dekat kota Sulaymaniyah Irak sekarang. Keluarga Barzinji, yang mengaku keturunan Nabi Muhammad melalui jalur Imam Musa Al-Kazhim, mengambil nama keluarga dari desa Barzinja di Syahrazur.  
Kitab Barzanji sendiri ditulis oleh keturunan keluarga Barzinji, Syekh Ja'far ibn Hasan ibn Abdul Karim ibn Muhammad (1690-1766). Beliau lahir di Madinah dan menghabiskan seluruh usianya di sana. Syekh Ja’far adalah seorang mufti Asy-Syafi’iyah di Madinah al Munawarah. Karya tulis ini sebenarnya berjudul 'Iqd al-Jawahir (Kalung Permata) yang disusun untuk meningkatkan kecintaan kepada Nabi Muhammad saw. Tapi kemudian lebih terkenal dengan nama penulisnya.
Ulama Nusantara kelahiran Banten, Pulau Jawa, yang terkenal sebagai ulama dan penulis yang produktif dengan banyak karangan, Syaikh Muhammad Nawawi al-Bantani al-Jawi turut menulis syarh (penjelas) bagi “Mawlid al-Barzanji” dan dinamakannya “Madaarijus Su`uud ila Iktisaa-il Buruud“.

Relasi Barzanji dan Maulid Nabi

Menarik, paparan Nico Captein, seorang orientalis Universitas Leiden dalam bukunya “Perayaan Hari Lahir Nabi Muhammad SAW”. Menurutnya, Maulid Nabi pada mulanya adalah perayaan kaum Syi’ah Fatimiyah di Mesir untuk menegaskan kepada publik bahwa dinasti
tersebut benar-benar keturunan Nabi. Ada nuansa politis dalam perayaannya. Dari kalangan Sunni, pertama kali diselenggarakan di Suriah oleh Nuruddin pada abad XI. Pada abad itu juga Maulid digelar di Mosul Irak, Mekkah dan seluruh penjuru Islam. Kendati demikian, tidak sedikit pula yang menolak memperingati karena dinilai bid’ah (mengada-ada dalam beribadah). Adapun Shalahuddin Al Ayyubi yang dikenal sebagai perintis peringatan maulid, sebenarnya hanya berperan menghidupkan kembali (revitalisasi) maulid yang pernah ada pada masa dinasti Fatimiyah. Tujuannya untuk membangkitkan semangat jihad (perjuangan) dan ittihad (persatuan) tentara Islam melawan crusader (pasukan salib). Dari itulah muncul anggapan, Shalahuddin adalah penggagas dan peletak dasar peringatan maulid nabi.
            Sementara, historisitas Barzanji berawal dari lomba menulis sirah dan puji-pujian kepada Nabi yang diselenggarakan Shalahuddin pada 580 H / 1184 M.  Dalam  kompetisi itu, karya indah Syekh Ja’far tampil sebagai yang terbaik. Sejak itulah Kitab al Barzanji tersosialisasikan.

Masuknya Kitab Barzanji ke Indonesia

Penelusuran asal usul salawat Barzanji menjadi menarik, karena akan memperkaya persilangan tradisi Islam Nusantara. Pendapat yang lazim selama ini mengemukakan, persilangan budaya Islam Nusantara berasal dari Arab, India, dan Cina. Barzanji, menurut Suhadi (2004), Ketua Kajian Program Institut Kajian Islam Nusantara LKIS Yogyakarta, meneguhkan pengaruh Kurdistan ke Nusantara.
            Lebih lanjut, dalam sebuah tulisannya, Suhadi menegaskan bahwa salawat Barzanji dipopulerkan di Indonesia antara lain melalui tarekat Qadiriyah Naqsabandiyah. Sementara itu, bila ditelusuri, anggota keluarga Barzinji di Kurdistan sejak awal juga menjadi syaikh dan pengikut tarekat Qadiriyah.
            Persinggungan ulama Nusantara dengan Kurdi tidak berlangsung di Kurdistan, melainkan di Madinah. Pada saat itu, Haramain (Makkah dan Madinah) tidak dapat disangkal menjadi pusat wacana keislaman. Ulama Nusantara abad 17 banyak yang berguru kepada salah satu ulama Kurdi terkemuka, Ibrahim Ibn Hasan Al-Kurani (1615-1690) di Madinah. Dia merupakan guru tarekat yang memegang ijazah (otoritas) dari berbagai tarekat sekaligus,: Syatariyah, Qadiriyah, Naqsabandiyah dan Cistiyah. Dua ulama Nusantara tercatat menjadi santrinya di Madinah, ‘Abd Al Ra’uf al Sinkili (1620-1695) dan Muhammad Yusuf al Maqassari (1627-1699).
            Lalu pada abad 19, seorang ulama dari Kalimantan Barat, Ahmad Khatib as Sambas (w. 1878), belajar dan menjadi guru sampai akhir hidupnya di Mekkah. Khatib Sambas yang menulis kitab tasawuf monumental Fathul ‘Arifin (kemenangan orang-orang ma’rifat) rupa-rupanya mewarisi kepiawaian ulama Nusantara sebelumnya dalam mempelajari tasawuf dan tarekat. Beliau berhasil mensintesakan dua tarekat sekaligus dengan mendirikan tarekat Qadiriyah Naqsabandiyah yang mendapatkan sambutan massif di Indonesia mulai pertengahan abad 19.
            Khatib Sambas adalah salah satu ulama Nusantara yang berdebat sengit melawan kecenderungan wahabisme, puritanisme dan pelarangan tarekat serta membendung arus kecenderungan tersebut masuk Nusantara. Kiai Nawawi al Bantani (1813-1897) yang di atas disebut sebagai pensyarah Kitab Al Barzanji, merupakan salah satu santri terbaiknya di Mekkah.
            Belum diketahui, siapa yang pertama kali membawa Barzanji masuk ke Indonesia dan mempopulerkannya. Karena baik Khatib Sambas maupun Nawawi al Bantani menghabiskan usianya di Mekkah dan Madinah. Menurut catatan sejarah, Khatib Sambas membaiat dan menunjuk para khalifah (utusan) untuk menyebarkan tarekat Qadiriyah Naqsabandiyah ke Nusantara. Premis inilah yang menjadi pijakan Suhadi. Mungkin melalui para khalifah dan jaringan anggota tarekat ini Barzanji tersebar luas di Nusantara hingga kini.
            Di sisi lain, secara tidak langsung, beberapa santri yang pernah belajar di Mekkah atau Madinah seperti Ahmad Rifa’i Kalisalak (w.1875), Khalil Bangkalan (w.1925), Hasyim Asy’ari (w. 1947) dan Ihsan Dahlan Kediri (w.1952) yang semuanya menjadi perintis pesantren Jawa, memiliki peran yang penting. Komunitas santri dan pesantren inilah yang sampai sekarang masih tetap konsisten “menghidupi” Barzanji. Barzanji yang tidak bisa dipisahkan dari tarekat Qadiriyah Naqsabandiyah kemudian semakin diterima secara massif setelah Nahdlatul ‘Ulama, organisasi umat Islam terbesar di Indonesia, mengakui tarekat tersebut sebagai salah satu tarekat mu’tabarah (legitimate) bagi kaum nahdliyin.

Kontekstualisasi Kitab Barzanji

            Di awal penyusunannya, seperti disebutkan di muka, oleh Shalahuddin al Ayyubi Kitab Barzanji dibacakan pada peringatan Maulid Nabi dengan tujuan untuk memperkuat semangat juang umat Islam, yaitu dengan cara mempertebal kecintaan kepada Rasul. Ternyata peringatan maulid nabi yang diselenggarakan Shalahuddin itu membuahkan hasil yang positif. Semangat umat Islam menghadapi Perang Salib (The Crusade) bergelora kembali. Shalahuddin berhasil menghimpun kekuatan, sehingga pada tahun 1187 (583 Hijriah) Yerusalem direbut oleh Salahuddin dari tangan bangsa Eropa. 
Di sisi lain, ada salah satu visi yang tidak dapat dipisahkan dari keluarga Barzinji di Kurdi, yaitu semangatnya untuk melakukan resistensi terhadap bentuk-bentuk penindasan, terutama pada masa kolonial. Pada tahun 1920-an, al Barzanji menjadi semakin masyhur. Kala itu, Syekh Mahmud al Barzinji memimpin pemberontakan kolonialisme Inggris dan menyatakan diri sebagai raja Kurdistan.
            Pengalaman sejarah tarekat Qadiriyah Naqsabandiyah di Indonesia juga memiliki visi serupa. Peristiwa pemberontakan petani Banten tahun 1888 yang diinisiasi oleh pemimpin dan pengikut tarekat ini melawan penindasan kolonial Belanda merupakan contoh nyata.
            Akhirnya, Suhadi menekankan, bahwa tarekat berperan sebagai salah satu gerakan transformasi sosial yang kontekstual dan aktual sesuai tantangan zamannya. Tradisi Barzanji menyediakan lokus tradisi yang sangat kaya, luas dan hidup dalam masyarakat kita dan menunggu campur tangan kreatif kita  dari pada sekedar bersitegang meneriakkan formalisme agama di satu sisi dan liberalisme di sisi lain. Wallahu a’lam (dari berbagai sumber)         
             



           
 
  



Tidak ada komentar:

Posting Komentar