Perangkat Pembelajaran

Senin, 17 September 2012

QURBAN DALAM PERSPEKTIF PENDIDIKAN


QURBAN DALAM PERSPEKTIF PENDIDIKAN


OLEH : AHMAD FAOZAN, S.Ag
Guru PAI dpk pada SDN Kebulen III Jatibarang Indramayu

Diposkan oleh Majalah Media Pembinaan Kantor Wilayah Departemen Agama Provinsi Jawa Barat, Desember 2009


            Perintah berqurban dapat dilacak pada “drama” pengorbanan  Ismail alaihssalam oleh sang ayah, Ibrahim alaihissalam menuju puncak kepasrahan total kepada Allah swt.

Qurban dalam Lintasan Sejarah
Menurut perkiraan sejarah, Ibrahim hidup dalam abad ke 19 dan 18 SM. Pada mulanya, ia tinggal di daerah kelahirannya, Ur, di lembah Efrat Tigris (Mesopotamia Irak) kemudian pindah ke Harran (Suriah Utara) dan terakhir di Kan’an (Palestina) bersama istrinya Sarah, kemenakannya Luth bin Haran dan beberapa keluarga lainnya. Kehidupan berpindah-pindah yang dilakukannya adalah dalam kerangka mempertahankan ajaran monoteis, dan menentang praktik penyembahan berhala yang dilakukan oleh sanak keluarga (termasuk ayahnya, Azar, yang berprofesi sebagai tukang kayu dan pembuat berhala) dan kaumnya termasuk Raja Namrud, penguasa Babilonia yang sangat diktator dan memerintahkan rakyatnya untuk menyembah dirinya. Nabi Ibrahim menampilkan model dakwah dan pendidikan dialogis untuk mengajak sanak kerabat dan kaumnya pada ketauhidan.
            Ketika Palestina mengalami bencana kelaparan, Ibrahim bersama keluarga pindah ke Mesir. Karena raja Mesir tertarik kepada Sarah yang cantik, Ibrahim terpaksa mengakunya sebagai saudaranya, lantaran takut dianiaya oleh raja. Dan sarah pun diambil (dikawin) raja. Akan tetapi, raja segera mengetahui bahwa Sarah bukanlah saudara Ibrahim, melainkan isterinya. Sarah pun dikembalikan kepada Ibrahim disertai hadiah sorang budak perempuan berkebangsaan Mesir, bernama Hajar, sebagai penghargaan raja kepada Sarah sendiri dan Ibrahim yang bijaksana.
            Sampai berumur 85 tahun, Ibrahim belum mendapatkan keturunan dari Sarah. Karena itulah, Sarah memperkenankan Ibrahim menikahi Hajar, budak perempuannya. Dari Hajar inilah lahir seorang putera yang didambakan, yaitu Isma’il (Ishma El, “Allah telah mendengar”), karena Ibrahim memandang lahirnya bayi itu sebagai jawaban atas doanya yang mendambakan keturunan.
            Kelahiran Isma’il membuat istri pertamanya, Sarah merasa “cemburu”. Ketegangan pun terjadi antara Sarah dan Hajar. Sarah meminta agar Hajar dan anaknya dikeluarkan dari rumah tangga mereka. Ibrahim cukup memahami perasaan Sarah sehingga ia menerima permintaannya untuk membawa keluar Hajar. Atas petunjuk Allah, Ibrahim, Hajar dan anaknya Isma’il dibawa ke arah selatan, ke sebuah lembah gersang yang disebut Bakkah (Mekkah). Di lembah yang tandus, kering kerontang itu dahulu telah berdiri kokoh rumah suci Allah, Ka’bah.
            Sementara Hajar dan Isma’il tinggal di Mekkah, Ibrahim kembali ke Kan’an, kepada istrinya yang pertama. Sesekali Ibrahim menengok putra terkasihnya.  Pun ketika Ibrahim bermimpi mendapat wahyu agar menunaikan sumpah setianya kepada Sang Khaliq untuk mengurbankan anak lelaki dambaannya itu.
            Dalam masyarakat Ibrahim, terdapat dua kelompok keagamaan yang dominan, yaitu al shabi’ah dan al hunaf. Kelompok pertama memandang dalam ma’rifat dan taat kepada perintah Allah diperlukan adanya perantara. Perantara itu harus berupa ruh dan mendekatkannya kepada Tuhan dari segala tuhan. Sedangkan kelompok kedua meyakini bahwa dalam ma’rifat dan taat kepada perintah Allah diperlukan perantara yang bukan dari ruh, melainkan dari manusia. Alasannya adalah bahwa derajat kesucian, kemaksuman, dukungan, dan hikmah manusia lebih tinggi dari pada ruh.
Ajaran monoteis Ibrahim dengan perintah qurban atas diri Isma’il ini datang membawa pencerahan. Beliau dititah Tuhan melalui mimpi untuk menyembelih anaknya sebagai isyarat bahwa anak terkasih –jiwa yang paling berharga di sisi seseorang—bukanlah sesuatu yang berarti jika Tuhan telah menitah.
Tetapi Allah Mahakasih, tak berkenan menjadikan manusia sebagai korban. Perintah bagi  Ibrahim untuk menyembelih anaknya bukan untuk melanjutkan tradisi pengurbanan manusia. Sebab setelah pisau digerakkan di leher suci Ismail, tiba-tiba seekor domba dijadikan penggantinya.
         
Nilai Pendidikan dalam Qurban
Masalah pendidikan paling tidak mencakup empat faktor pendidikan, yaitu tujuan, kurikulum (materi), metode dan media, guru dan siswa. Keempat faktor inilah yang digunakan untuk menganalisis nilai-nilai pendidikan dalam kisah tentang pengurbanan Isma’il.
Dari segi tujuan pendidikan, kisah ini sarat dengan orientasi dan tujuan pendidikan. Tujuan utama pendidikan (Islam) adalah mengantarkan manusia beriman dan bertaqwa kepada Allah dan membentuk manusia yang bermoral baik.
Kepasrahan total dan kesabaran menerima ujian yang sangat berat dari Allah merupakan sikap seorang yang beriman. “Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis (nya), (nyatalah kesabaran keduanya). Dan Kami panggillah dia: "Hai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu", sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar. Kami abadikan untuk Ibrahim itu (pujian yang baik) di kalangan orang-orang yang datang kemudian, (yaitu) "Kesejahteraan dilimpahkan atas Ibrahim".Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ia termasuk hamba-hamba Kami yang beriman.”(QS 37: 103-111).
Dalam usia yang masih belia, Isma’il mampu menampilkan sosok pribadi yang mantap keimanannya. Ibrahim adalah figur pendidik yang telah mampu menanamkan keimanan sejak usia dini pada putranya.  
Dialog edukatif dalam “drama” pengorbanan Isma’il juga mengandung konotasi metode pendidikan. “Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: "Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!" Ia menjawab: "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar".(QS 37: 102). Ibrahim menggunakan metode dialogis yang penuh kasih sayang, bukan indoktrinasi yang otoriter dan verbalistik. Kisah ini juga meniscayakan pentingnya metode komunikatif, humanistik, terbuka, kebebasan berpendapat dalam pendidikan dan keseimbangan antara teori dan praktik (perintah menyembelih dan pelaksanaan berkurban).
Dari segi materi pendidikan, dialog Ibrahim dan putranya Ismail dalam ayat di atas, tersirat pentingnya kesesuaian materi (perintah berkurban) dengan tingkat kematangan dan kedewasaan peserta didik. Redaksi ayat di atas menyatakan “Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha…… menunjukkan bahwa Isma’il sudah berusia matang untuk memikirkan dan menyikapi  “tawaran” orang tuanya.
Dari segi peserta didik, kisah ini menghendaki “peserta didik” yang aktif, berkemauan kuat, siap menghadapi tantangan, berpikir rasional dan berwawasan masa depan. Tentu,  untuk “menghasilkan” peserta didik yang demikian harus dimulai sejak masa prenatal. “(Ibrahim berkata:) Ya Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang saleh. Maka Kami beri dia kabar gembira dengan seorang anak yang amat sabar” (QS 37: 100-101)
Kisah ini juga mengisyaratkan pentingnya kompetensi kepribadian (personality competency)  seorang pendidik, di samping kompetensi lainnya.  Jika dalam konteks ini yang menjadi pendidik adalah Ibrahim, maka seorang pendidik idealnya memiliki kualitas kepribadian seperti Ibrahim, yang diatributi al Quran sebagai muslim (berserah diri, patuh), mu’min (beriman, memiliki komitmen dan amanah), hanif (lurus, jujur dan benar), qanit (tunduk, loyal dan taat asas), shalih (baik, patut), shiddiq (jujur, benar), halim (santun, lembut, cerdas, dewasa), syakir (berterima kasih, apresiatif), awwah (berintrospeksi diri, terus berada di jalan yang benar), munib (kembali ke jalan yang benar, mengikuti suara hati nurani), dan khalil (kasih sayang). Semua predikat ini merupakan sifat, karakter dan kepribadian yang sangat penting dan ideal dimiliki seorang pendidik.
Dengan demikian, kisah Ibrahim dan Isma’il ini dapat dikontekstualisasikan dalam bentuk model pendidikan yang demokratis, humanis dan transformatif. Wallahu a’lam   


Tidak ada komentar:

Posting Komentar